PERLUNYA REORIENTASI PARADIGMAPEMBELAJARAN
BIOLOGI DI SEKOLAH
Oleh:
Cak Baskoro
Oleh:
Cak Baskoro
Mengapa saya hanya menyoroti hal ini?, sungguh dalam tulisan ini, tidak pernah terlintas dalam hati dan benak saya untuk mendeskreditkan guru sebagai biang keladi munculnya permasalahan di atas. Tulisan ini harus dimaknai sebagai oto-kritik bagi kita, sebagai dasar bagi kita dalam membenahi diri guna perbaikan dimasa mendatang
Sebuah Pengantar: Fenomena Pembelajaran Biologi Kita Saat ini
Pembelajaran biologi di sekolah sering mendapat kritikan. Dibandingkan dengan matapelajaran sains lainnya, nilai matapelajaran biologi memang relatif lebih tinggi, namun masih banyak persoalan yang cukup mengganggu dan merisaukan hati saya, terutama pada pergeseran orientasi belajar siswa, yang terjebak kepada kegiatan menghafal ‘produk’ biologi. Ada kecenderungan siswa hafal di luar kepala konsep-konsep biologi namun mereka tidak memahami makna dari sebuah konsep yang mereka hafal. Ada sebuah ilustrasi menarik terkait dengan hal ini, saya pernah berkolaborasi dengan guru sekolah menengah dalam kegiatan penelitian tindakan kelas (classroom action research) di sebuah kota, setelah saya beberapa kali ikut terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, ada sebuah fakta yang menurut saya sangat menarik untuk dicermati “ketika guru menanyakan pada siswa-siswanya tentang apa yang dimaksud dengan simbiosis mutualisme, sebagian besar siswa dapat menjawab dengan benar, ketika guru meminta siswa memberikan contoh simbiosis mutualisme, semua siswa menjawab burung jalak dengan kerbau, persis seperti yang tertulis dalam buku paket mereka saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Sifat iseng saya muncul, saya meminta siswa memberikan contoh lain selain burung jalak dengan kerbau yang telah mereka sebutkan sebelumnya, saya sangat terkejut, ternyata semua siswa tidak ada yang bisa menjawab”. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kecenderungan siswa hanya belajar menghafal konsep tanpa usaha untuk memahaminya.
Mengapa Permasalahan Itu Muncul?
Idealnya mengurai akar masalah dari fenomena di atas diperlukan kajian yang komprehensif dan tidak parsial apalagi reduksionis. Kita harus mengurai setiap ‘benang kusut’ ini mulai dari gnosis sampai praksis. Namun kali ini saya hanya menyoroti hanya dari sisi proses dan terutama terbatas pada kekurangtepatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan biologi. Mengapa saya hanya menyoroti hal ini?, sungguh tidak pernah terlintas dalam hati saya, tulisan ini untuk menyalahkan apalagi mendeskreditkan guru sebagai biang keladi munculnya permasalahan di atas. Tulisan ini hendaknya dimaknai sebagai otokritik bagi kita sebagai dasar dalam refleksi diri guna perbaikan pendidikan di negara kita tercinta.
Bila kita mau jujur mengakui, munculnya permasalahan di atas salah satunya disebabkan oleh kekurangtepatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan biologi. Ada kecenderungan guru ‘memandang’ biologi hanya sebagai kumpulan produk sains dan melupkan aspek lain dari biologi sebagai proses sains. Pembelajaran biologi di sekolah sampai saat ini masih terpaku pada paradigma penelusuran informasi dan melupakan aspek lain dari pembelajaran. Akibat dari pandangan yang kurang tepat ini, guru biologi tak ubahnya seperti guru sejarah yang sedang membelajarkan ‘sejarah’ biologi pada siswa-siswanya. Keberhasilan pembelajaran biologi dinilai hanya dari banyaknya fakta yang berhasil dihafalkan oleh siswa. Guru cenderung membelajarkan biologi hanya terorientasi pada isi pelajaran (content based) dengan strategi pembelajaran yang kental bernuansa teacher centered.
Keadaan di atas, kemudian diperparah oleh fakta bahwa guru biologi mengajarkan biologi dengan menggunakan buku paket pelajaran mereka seperti menggunakan buku resep masakan, mereka mengajarkan halaman-perhalaman sesuai dengan yang tertulis dalam buku paket mereka, tanpa berusaha menganalisis, mengkritisi isi buku tersebut yang sebenarnya sebagian besar cenderung mekanistik, strukturalistik bahkan utopis. Konsekuensi logis dari hal ini siswa cenderung belajar menghafal fakta tanpa melibatkan penalaran mereka. Dalam keadaan seperti ini sebenarnya tidak ada beda siswa dengan burung beo.
Terkait dengan hal ini, sebenarnya pemerintah sudah berusaha melakukan berbagai hal, baik melalui kegiatan in service training maupun kegiatan-kegiatan yang lainnya, namun ada kecenderungan hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah dibekalkan kepada mereka sebelumnya. Saya pernah terlibat beberapa kali dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Dalam setiap kegiatan saya sering iseng menanyakan alasan mereka (baca: guru) cenderung memilih pendekatan pembelajaran yang kurang tepat, berdasarkan jawaban-jawaban tersebut, paling tidak saya dapat mengklasifikasikan dua alasan yang sering dilontarkan oleh guru yaitu; 1) keterkaitan permasalahan content matapelajaran yang harus disampaikan oleh guru dengan alokasi waktu yang disediakan oleh kurikulum, 2) mis-mindset guru terhadap istilah mengajar, guru mengartikan mengajar adalah memposisikan dirinya sebagai satu-satunya penyampai informasi tunggal bagi siswanya, mengajar adalah kegiatan mentransfer/meng copy paste pengetahuan dari otak/pikiran guru ke otak/pikiran siswa, ada perasaan tidak mengajar kalau tidak ceramah.
Terkait dengan hal di atas, jadi jangan heran jika siswa-siswa kita, dilaporkan oleh bebearapa penelitian; rendah dalam kemampuan berpikir, kesadaran diri atas tanggungjawabnya sebagai siswa sangat rendah, ketrampilan sosialnya rendah. Sementara itu, menurut Ball (2005) di era informasi seperti saat ini, satu-satunya cara agar sebuah bangsa tidak tergilas oleh roda perubahan zaman adalah membekali semua elemen bangsa agar terampil dalam memecahkan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan metakognisi.
Perlunya Reorientasi Paradigma Pembelajaran Biologi
Seperti telah saya diuraikan sebelumnya, menurut saya dipandang mendesak untuk segera dilakukan pergeseran (re-orientasi) paradigma dalam pembelajaran biologi, yaitu; 1) pergeseran pandangan dari menempatkan biologi secara parsial yaitu hanya sebagai kumpulan produk sains yang harus dihafalkan oleh siswa menjadi pandangan yang lebih komprehensif dan holistik, yaitu mendudukkan kembali pembelajaran biologi seperti hakikat asli ilmu biologi, yaitu memandang biologi sebagai produk dan proses. Pergeseran ini tentu saja menuntut re-orientasi pembelajaran biologi yang tidak hanya terorientasi pada produk tetapi juga memberdayakan ketrampilan-ketrampilan lain yang selayaknya dimiliki oleh seorang saintis (ketrampilan proses sains), 2) menggeser paradigma pembelajaran dari ásumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari otak/pikiran guru ke otak/pikiran siswa, menuju pembelajaran yang lebih memberdayakan seluruh aspek kemampuan siswa, 3) menggeser paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa, belajar mandiri dan pemahaman diri , 4) menggeser dari belajar menghafal konsep menuju belajar menemukan (inkuiri) dan membangun sendiri (mengkonstruksi) konsep, 5) menggeser dari belajar individu klasikal menuju pembelajaran kolaboratif-kooperatif yang tidak hanya mengajari siswa terampil berpikir namun juga mampu mengajarai siswa ketrampilan sosial.
Reorientasi Paradigma Pembelajaran Biologi Sebuah Keniscayaan
Kegagalan kegiatan-kegiatan mengubah miss-mindset guru dalam pembelajaran, menurut hemat saya, sebagian besar disebabkan oleh kekurang tepatan strategi ‘sosialisasi’ yang selama ini lebih di dominasi oleh kegiatan-kegiatan penataran-penataran yang sangat kental bernuansa ‘proyek’. Ada kecenderungan setelah guru mengikuti kegiatan-kegiatan penataran, ketika mereka kembali ke sekolah “perilaku’’ mengajar mereka tidak berbeda dengan sebelum mereka berangkat penataran. Pertanyaannya mengapa hal ini terjadi?, menurut hemat saya hal ini disebabkan karena kesalahan memandang mereka (baca; guru) sebagai objek, mereka tidak pernah dilibatkan dalam usaha mengkonstruksi sendiri usaha-usaha memecahkan permasalahan riil pembelajaran mereka sendiri di dalam kelas. Pendekatan pelatihan-pelatihan yang cenderung bersifat ‘top-down’ yang kadang kala tidak relevan dan sesuai permasalahan riil di lapangan menjadikan kegiatan-kegiatan pelatihan menjadi tidak bermakna bagi guru dan bahkan cenderung terkesan hanya menghambur-hamburkan uang.
Dalam pikiran saya, reorientasi paradigma pembelajaran biologi di maksud adalah sebuah usaha mengubah mindset (pola pikir), mengubah sebuah mindset bukanlah pekerjaan mudah, apalagi jika miss-mindset ini sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dibutuhkan usaha lebih dari sekedar kegiatan-kegiatan penataran dan seminar-seminar. Kegiatan ini harus bermuara pada perubahan (pergeseran) perilaku guru dalam membelajarkan biologi di kelas.
Menurut saya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah membekali guru kemampuan secara mandiri untuk memecahkan setiap permasalahan pembelajaran di dalam kelas. Mendesak untuk segera “dibentuk’’ sebuah komunitas belajar di sekolah. Komunitas belajar ini dengan melibatkan beberapa pihak yaitu, guru, siswa, teman sejawat,orang tua siswa, ahli pendidikan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Guru harus dibiasakan secara kolaboratif merumuskan tujuan pembelajaran, tujuan pengembangan siswa, merancang pembelajaran, melaksanakan dan mengamati pembelajaranya, mendiskusikan dengan berbagai pihak yang terkait untuk kemudian menyempurnakan dan membelajarkannya lagi, atau jika perlu membuka ‘pintu’ kelasnya untuk orang lain melihat, mengamati pembelajarannya di dalam kelas, hal ini akan membantu guru mendapatkan masukan yang jujur dari orang lain tentang pembelajarannya di dalam kelas. Pembiasaan-pembiasaan kegiatan reflektif semacam ini diharapkan akan menjadikan sebuah kebiasaan, yang pada giliranya perubahan mindset akan menjadi sebuah keniscayaan.
Bagaimana menurut pendapat sampean?
Malang- Surakarta,
Sabtu 21 Maret 2009
Salam
Baskoro Adi Prayitno
Pembelajaran biologi di sekolah sering mendapat kritikan. Dibandingkan dengan matapelajaran sains lainnya, nilai matapelajaran biologi memang relatif lebih tinggi, namun masih banyak persoalan yang cukup mengganggu dan merisaukan hati saya, terutama pada pergeseran orientasi belajar siswa, yang terjebak kepada kegiatan menghafal ‘produk’ biologi. Ada kecenderungan siswa hafal di luar kepala konsep-konsep biologi namun mereka tidak memahami makna dari sebuah konsep yang mereka hafal. Ada sebuah ilustrasi menarik terkait dengan hal ini, saya pernah berkolaborasi dengan guru sekolah menengah dalam kegiatan penelitian tindakan kelas (classroom action research) di sebuah kota, setelah saya beberapa kali ikut terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, ada sebuah fakta yang menurut saya sangat menarik untuk dicermati “ketika guru menanyakan pada siswa-siswanya tentang apa yang dimaksud dengan simbiosis mutualisme, sebagian besar siswa dapat menjawab dengan benar, ketika guru meminta siswa memberikan contoh simbiosis mutualisme, semua siswa menjawab burung jalak dengan kerbau, persis seperti yang tertulis dalam buku paket mereka saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Sifat iseng saya muncul, saya meminta siswa memberikan contoh lain selain burung jalak dengan kerbau yang telah mereka sebutkan sebelumnya, saya sangat terkejut, ternyata semua siswa tidak ada yang bisa menjawab”. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kecenderungan siswa hanya belajar menghafal konsep tanpa usaha untuk memahaminya.
Mengapa Permasalahan Itu Muncul?
Idealnya mengurai akar masalah dari fenomena di atas diperlukan kajian yang komprehensif dan tidak parsial apalagi reduksionis. Kita harus mengurai setiap ‘benang kusut’ ini mulai dari gnosis sampai praksis. Namun kali ini saya hanya menyoroti hanya dari sisi proses dan terutama terbatas pada kekurangtepatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan biologi. Mengapa saya hanya menyoroti hal ini?, sungguh tidak pernah terlintas dalam hati saya, tulisan ini untuk menyalahkan apalagi mendeskreditkan guru sebagai biang keladi munculnya permasalahan di atas. Tulisan ini hendaknya dimaknai sebagai otokritik bagi kita sebagai dasar dalam refleksi diri guna perbaikan pendidikan di negara kita tercinta.
Bila kita mau jujur mengakui, munculnya permasalahan di atas salah satunya disebabkan oleh kekurangtepatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan biologi. Ada kecenderungan guru ‘memandang’ biologi hanya sebagai kumpulan produk sains dan melupkan aspek lain dari biologi sebagai proses sains. Pembelajaran biologi di sekolah sampai saat ini masih terpaku pada paradigma penelusuran informasi dan melupakan aspek lain dari pembelajaran. Akibat dari pandangan yang kurang tepat ini, guru biologi tak ubahnya seperti guru sejarah yang sedang membelajarkan ‘sejarah’ biologi pada siswa-siswanya. Keberhasilan pembelajaran biologi dinilai hanya dari banyaknya fakta yang berhasil dihafalkan oleh siswa. Guru cenderung membelajarkan biologi hanya terorientasi pada isi pelajaran (content based) dengan strategi pembelajaran yang kental bernuansa teacher centered.
Keadaan di atas, kemudian diperparah oleh fakta bahwa guru biologi mengajarkan biologi dengan menggunakan buku paket pelajaran mereka seperti menggunakan buku resep masakan, mereka mengajarkan halaman-perhalaman sesuai dengan yang tertulis dalam buku paket mereka, tanpa berusaha menganalisis, mengkritisi isi buku tersebut yang sebenarnya sebagian besar cenderung mekanistik, strukturalistik bahkan utopis. Konsekuensi logis dari hal ini siswa cenderung belajar menghafal fakta tanpa melibatkan penalaran mereka. Dalam keadaan seperti ini sebenarnya tidak ada beda siswa dengan burung beo.
Terkait dengan hal ini, sebenarnya pemerintah sudah berusaha melakukan berbagai hal, baik melalui kegiatan in service training maupun kegiatan-kegiatan yang lainnya, namun ada kecenderungan hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah dibekalkan kepada mereka sebelumnya. Saya pernah terlibat beberapa kali dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Dalam setiap kegiatan saya sering iseng menanyakan alasan mereka (baca: guru) cenderung memilih pendekatan pembelajaran yang kurang tepat, berdasarkan jawaban-jawaban tersebut, paling tidak saya dapat mengklasifikasikan dua alasan yang sering dilontarkan oleh guru yaitu; 1) keterkaitan permasalahan content matapelajaran yang harus disampaikan oleh guru dengan alokasi waktu yang disediakan oleh kurikulum, 2) mis-mindset guru terhadap istilah mengajar, guru mengartikan mengajar adalah memposisikan dirinya sebagai satu-satunya penyampai informasi tunggal bagi siswanya, mengajar adalah kegiatan mentransfer/meng copy paste pengetahuan dari otak/pikiran guru ke otak/pikiran siswa, ada perasaan tidak mengajar kalau tidak ceramah.
Terkait dengan hal di atas, jadi jangan heran jika siswa-siswa kita, dilaporkan oleh bebearapa penelitian; rendah dalam kemampuan berpikir, kesadaran diri atas tanggungjawabnya sebagai siswa sangat rendah, ketrampilan sosialnya rendah. Sementara itu, menurut Ball (2005) di era informasi seperti saat ini, satu-satunya cara agar sebuah bangsa tidak tergilas oleh roda perubahan zaman adalah membekali semua elemen bangsa agar terampil dalam memecahkan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan metakognisi.
Perlunya Reorientasi Paradigma Pembelajaran Biologi
Seperti telah saya diuraikan sebelumnya, menurut saya dipandang mendesak untuk segera dilakukan pergeseran (re-orientasi) paradigma dalam pembelajaran biologi, yaitu; 1) pergeseran pandangan dari menempatkan biologi secara parsial yaitu hanya sebagai kumpulan produk sains yang harus dihafalkan oleh siswa menjadi pandangan yang lebih komprehensif dan holistik, yaitu mendudukkan kembali pembelajaran biologi seperti hakikat asli ilmu biologi, yaitu memandang biologi sebagai produk dan proses. Pergeseran ini tentu saja menuntut re-orientasi pembelajaran biologi yang tidak hanya terorientasi pada produk tetapi juga memberdayakan ketrampilan-ketrampilan lain yang selayaknya dimiliki oleh seorang saintis (ketrampilan proses sains), 2) menggeser paradigma pembelajaran dari ásumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari otak/pikiran guru ke otak/pikiran siswa, menuju pembelajaran yang lebih memberdayakan seluruh aspek kemampuan siswa, 3) menggeser paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa, belajar mandiri dan pemahaman diri , 4) menggeser dari belajar menghafal konsep menuju belajar menemukan (inkuiri) dan membangun sendiri (mengkonstruksi) konsep, 5) menggeser dari belajar individu klasikal menuju pembelajaran kolaboratif-kooperatif yang tidak hanya mengajari siswa terampil berpikir namun juga mampu mengajarai siswa ketrampilan sosial.
Reorientasi Paradigma Pembelajaran Biologi Sebuah Keniscayaan
Kegagalan kegiatan-kegiatan mengubah miss-mindset guru dalam pembelajaran, menurut hemat saya, sebagian besar disebabkan oleh kekurang tepatan strategi ‘sosialisasi’ yang selama ini lebih di dominasi oleh kegiatan-kegiatan penataran-penataran yang sangat kental bernuansa ‘proyek’. Ada kecenderungan setelah guru mengikuti kegiatan-kegiatan penataran, ketika mereka kembali ke sekolah “perilaku’’ mengajar mereka tidak berbeda dengan sebelum mereka berangkat penataran. Pertanyaannya mengapa hal ini terjadi?, menurut hemat saya hal ini disebabkan karena kesalahan memandang mereka (baca; guru) sebagai objek, mereka tidak pernah dilibatkan dalam usaha mengkonstruksi sendiri usaha-usaha memecahkan permasalahan riil pembelajaran mereka sendiri di dalam kelas. Pendekatan pelatihan-pelatihan yang cenderung bersifat ‘top-down’ yang kadang kala tidak relevan dan sesuai permasalahan riil di lapangan menjadikan kegiatan-kegiatan pelatihan menjadi tidak bermakna bagi guru dan bahkan cenderung terkesan hanya menghambur-hamburkan uang.
Dalam pikiran saya, reorientasi paradigma pembelajaran biologi di maksud adalah sebuah usaha mengubah mindset (pola pikir), mengubah sebuah mindset bukanlah pekerjaan mudah, apalagi jika miss-mindset ini sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dibutuhkan usaha lebih dari sekedar kegiatan-kegiatan penataran dan seminar-seminar. Kegiatan ini harus bermuara pada perubahan (pergeseran) perilaku guru dalam membelajarkan biologi di kelas.
Menurut saya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah membekali guru kemampuan secara mandiri untuk memecahkan setiap permasalahan pembelajaran di dalam kelas. Mendesak untuk segera “dibentuk’’ sebuah komunitas belajar di sekolah. Komunitas belajar ini dengan melibatkan beberapa pihak yaitu, guru, siswa, teman sejawat,orang tua siswa, ahli pendidikan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Guru harus dibiasakan secara kolaboratif merumuskan tujuan pembelajaran, tujuan pengembangan siswa, merancang pembelajaran, melaksanakan dan mengamati pembelajaranya, mendiskusikan dengan berbagai pihak yang terkait untuk kemudian menyempurnakan dan membelajarkannya lagi, atau jika perlu membuka ‘pintu’ kelasnya untuk orang lain melihat, mengamati pembelajarannya di dalam kelas, hal ini akan membantu guru mendapatkan masukan yang jujur dari orang lain tentang pembelajarannya di dalam kelas. Pembiasaan-pembiasaan kegiatan reflektif semacam ini diharapkan akan menjadikan sebuah kebiasaan, yang pada giliranya perubahan mindset akan menjadi sebuah keniscayaan.
Bagaimana menurut pendapat sampean?
Malang- Surakarta,
Sabtu 21 Maret 2009
Salam
Baskoro Adi Prayitno