UJIAN NASIONAL (UN) :
EVALUASI YANG PERLU DIEVALUASI
Oleh:
Cak Baskoro
Mengurai efektifitas UN dari hulu sampai hilir, menyisakan berbagai permasalahan. Mulai dari aspek legalitas formal pelaksanaan UN sampai dengan akses pelaksanaan UN di lapangan. Permasalahan ini bermuara dari digunakannya UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan peserta didik. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan re-evaluasi penggunaan UN sebagai 'penentu' kelulusan. Menurut pendapat saya penentu kelulusan perlu dikembalikan ke guru, karena sesungguhnya gurulah yang tahu tentang peserta didik. Sebuah logika yang sangat tidak logis jika pemerintah ingin memberdayakan guru, tetapi usaha yang dilakukan justru pengkebirian hak dan potensi guru.
EVALUASI YANG PERLU DIEVALUASI
Oleh:
Cak Baskoro
Mengurai efektifitas UN dari hulu sampai hilir, menyisakan berbagai permasalahan. Mulai dari aspek legalitas formal pelaksanaan UN sampai dengan akses pelaksanaan UN di lapangan. Permasalahan ini bermuara dari digunakannya UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan peserta didik. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan re-evaluasi penggunaan UN sebagai 'penentu' kelulusan. Menurut pendapat saya penentu kelulusan perlu dikembalikan ke guru, karena sesungguhnya gurulah yang tahu tentang peserta didik. Sebuah logika yang sangat tidak logis jika pemerintah ingin memberdayakan guru, tetapi usaha yang dilakukan justru pengkebirian hak dan potensi guru.
SEBUAH PENGANTAR
Dahulu kala, ada seorang gadis kecil yang ceroboh bernama Little Red Ridding Hood. Suatu hari, ketika mengunjungi neneknya yang sedang sakit, Dia disambut oleh seekor serigala yang mengenakan baju malam neneknya. "Nek, alangkah besar matamu", ungkapnya sama sekali tidak tahu, sekalipun ia sudah ratusan kali menatap mata neneknya sebelumnya. "Nek, Alangkah besar dan panjang telingamu", sambungnya meskipun sebenarnya telinga neneknya tidak mungkin berubah sejak kunjungannya yang terakhir. "Nek, alangkah berat suaramu", ungkapnya lagi, masih tidak sadar bahwa yang ia hadapi adalah seekor serigala, bukan neneknya. Cerita ini, menceritakan tentang kecerobohan seorang anak kecil dalam menyimpulkan sesuatu karena terjebak pada fakta parsial (gaun malam neneknya) dan tidak melihat secara komprehensif (bahwa yang memakai gaun tersebut sebenarnya bukan neneknya melainkan seekor serigala yang siap memangsannya).
Cerita di atas, agaknya sangat relevan ketika kita berbicara tentang UN. Baru beberapa waktu lalu UN dilaksanakan, seperti tahun-tahun sebelumnya pemerintah mendapat hujan 'cacian' dari berbagai pihak, namun demikian pemerintah tidak bergeming sedikitpun "Anjing menggongong kafilah berlalu" dan bahkan seolah 'meledek' para pengkritiknya pemerintah malah menaikkan nilai standard kelulusan peserta UN. Melalui berbagai media massa, pemerintah melakukan pembelaan diri, beberapa argumen sempat terekam dalam catatan saya, diantaranya, ungkapan wakil Presiden JK dan Abu Rizal Bakri "anak harus dibiasakan kerja keras, jika diberi tantangan atau dituntut dengan dengan syarat kelulusan yang tinggi dan dinaikkan tiap tahun akan membuat anak menjadi belajar", " Mutu pendidikan meningkat dari tahun ketahun, hasil UN 2007/2008 lebih bagus dari tahun sebelumnya, padahal tuntutan angka standar kelulusan lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Argumen-argumen yang disampaikan oleh wakil pemerintah tadi, bila kita mau mencoba mencermati dengan sedikit lebih seksama, sebenarnya tidak dilandasi pengetahuan pedagogis yang baik (kalau tidak boleh dikatakan dilandasi pengetahuan pedagogik yang serampangan). Argumentasi itu mesti dikembangkan dengan sebuah pertanyaan lanjutan "anak-anak belajar dengan cara apa?" , yang terjadi sebenarnya bukanlah kegiatan belajar, tetapi drill soal yang melahirkan generasi 'pembeo', "bagaimanakah mungkin, angka dan jumlah lulusan dijadikan indikator mutu sebuah pendidikan?", jika hal ini yang dimaksud dengan mutu pendidikan oleh pemerintah, maka pendidikan kita dalam keadaan mengalami kemunduran besar-besaran sampai titik nadirnya. Mutu pendidikan hanya diukur dari kemahiran siswa menjawab soal-soal UN, yang kemudian sebenarnya mereka kembali menjadi bodoh, karena kemahiran tersebut diperoleh dari kegiatan 'menghafal' melalui drill latihan soal, bukan dari kegiatan pembelajaran yang bermakna. Ketidakmauan pemerintah saat ini untuk 'membuka' pintu diskusi terhadap argumen-argumen dari kubu yang bersebrangan dengan kubunya, suatu saat akan mengantarkan nasib yang sama dengan gadis kecil dalam cerita di atas. Ketika pemerintah mulai menyadari hal ini, semuanya sudah terlambat, karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru akan dilihat pada masa mendatang.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengkaji dan mengurai efektifitas UN dilihat dari beberapa sudut pandang, kemudian berdasarkan kajian tersebut saya mencoba menyimpulkan 'apakah UN memang alat evaluasi yang layak atau UN sebenarnya alat evaluasi yang sebenarnya perlu dievaluasi lagi penggunaanya. Terkait dengan hal tersebut, saya mengorganisasikan urutan penulisan sebagai berikut; pada bagian awal, saya akan mencoba membahas tentang gambaran awal UN dan Standarisasi Pendidikan, gambaran awal tentang hal ini sangat diperlukan sebagai pengetahuan prasarat bagi kita memahami argumen-argumen selanjutnya dalam tulisan ini, karena sesungguhnya UN tidak dapat dipisahkan dengan konsep Standarisasi pendidikan. Pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang efektifitas UN dari berbagai sudut pandang, yang mencoba mengurai efektifitas UN mulai dari hilir (peraturan perundangan) sampai dengan hulu (akses implementasi UN di Lapangan). Pembahasan terakhir akan ditutup dengan pembahasan tentang 'apakah UN memang alat evaluasi yang perlu dievaluasi keefektifanya?", sekaligus alternatif solusi pengganti UN sebagai penentu kelulusan yang dapat dipertimbangkan dan dikaji. Organisasi penyajian tulisan yang demikian, diharapkan mampu memberikan kemudahan pada pembaca dalam mengikuti alur argumen-argumen dalam tulisan ini.
STANDARISASI PENDIDIKAN DAN UJIAN NASIONAL (UN)
Istilah standarisasi merupakan pengejawantahan dari paham 'segala sesuatu dapat diukur', karena segala sesuatu dapat diukur maka dapat diusahakan terjadinya efisiensi dan diketahui kualitas suatu benda atau suatu pelayanan (pendidikan salah satu yang termasuk di dalamnya). Standa nasional pendidikan idealnya diperlukan untuk pengukuran kualitas pendidikan secara nasional, pemetaan masalah pendidikan secara nasional, dan dapat dijadikan dasar dalam penyusunan dan pengembangan strategi pendidikan selanjutnya.
Menurut PP. No. 19 Tahun 2005 yang merupakan penjabaran dari UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, terdapat delapan standard pendidikan yang kewenangan penyusunannya diberikan ke lembaga independent yang disebut Badan Standard Nasional Penddikan (BSNP). Ke delapan standard tersebut adalah, 1) standard isi, 2) standard proses, 3) standard kompetensi lulusan, 4) standard pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pembiayaan, 7) standar pengelolaan, 8) standar penilaian pendidikan.
Terkait dengan hal di atas, standar adalah patokan yang menuntut secara berkala diketahui sampai dimana efektifitasnya. Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan alat evaluasi nasional, salah satunya UN. Menurut Permen No. 77 tahun 2008 tentang UN SMA/MA, tujuan UN dimaksudkan untuk; 1) pemetaan mutu satuan/program pendidikan, 2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan lebih tinggi, 3) penentuan kelulusan perserta didik, 4) pembinaan dan pemberian bantuan pada program/satuan pendidikan. Penyelenggaraan UN diberikan wewenang ke BSNP.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa tujuan UN dimaksudkan untuk mengevaluasi efektifitas penyelengaraan standar pendidikan yang telah ditetapkan oleh BSNP. Pembahasan selanjutnya dibahas bagaimana efektifitas UN selama ini (sebenarnya) untuk mengevaluasi standar nasional pendidikan.
KE-EFEKTIFAN UN DIKAJI DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG
Mengkaji keefektifan UN, idealnya harus dimulai dari hilir sampai dengan hulu atau dengan kata lain kajian tersebut harus dimulai dari dasar legal formal sampai dengan akses aspek teknis implementasi UN di lapangan sebagai penentu kelulusan peserta didik. terkait dengan hal tersebut, pada bagian ini akan dikaji tentang a) kontroversi tentang 'cacatnya' landasan hukum pelaksanaan UN, b) kontroversi tentang lembaga BSNP dan keindependenya sebagai pelaksana UN, c) Akses UN yang mereduksi tujuan pendidikan 'humanisasi' dan 'homonisasi', d) akses UN sebagai pemicu disorientasi belajar siswa dan mengajar Guru, e) Tidak terpenuhinya delapan standar yang merata secara nasional, namun diberlakukan angka kelulusan yang sama mencidrai rasa keadilan bagi peserta didik.
UN dilandasi oleh Landasan Hukum yang "Cacat"
Permasalahan yang sering diperdebatkan terkait dengan UN adalah mengenai kontradiksi landasan hukum pelaksanaan UN, keluarnya PP. No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang diharapkan menjadi landasan hukum pelaksanaan UN malah bertentangan dengan peraturan di atasnya UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya tentang 'siapa yang sebenarnya yang mempunyai otoritas melakukan evaluasi terhadap peserta didik'. menurut UU. No 20 tahun 2003 pasal 58 wewenang tersebuta ada ditangan pendidik, namun hal ini kontradiktif dengan PP. No.10 tahun 2005 dan Permen No. 77 tahun 2008 yang memberikan otoritas evaluasi pada menteri pendidikan nasional dengan meminta bantuan badan yang disebut BSNP.
Kontradiksi tersebut bukan hanya terjadi antar produk hukum, bahkan juga pertentangan antar pasal dan pertentangan antar ayat dalam PP No. 19 tahun 2005 banyak sekali terjadi. Misalnya pertentangan pasal 66 ayat 1 butir c yang menyatakan UN dipakai untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik hal ini bertentangan dengan pasal 68 yang menyatakan ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Pertentangan antar ayat dapat dilihat pada pasal 69 ayat 1 dan ayat 2 tentang kontroversi UN itu hak atau wajib, pada ayat 1 dikemukakan UN adalah hak, hal ini berimplikasi boleh ikut UN atau tidak, sedangkan pada ayat 2 dikemukakan UN adalah wajib, hal ini berimplikasi peserta didik wajib ikut UN.
Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa landasan hukum pelaksanaan UN tersebut amat lemah dan cacat karena banyak kontradiksi ditemukan di dalamnya.
Kontroversi Tentang Kewenangan dan Keindependenan BSNP
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kewenangan guru dalam menilai keberhasilan pendidikan yang dimanatkan UU No.20 tahun 2003 telah 'dirampok' secara inskonstitusional oleh pemerintah melalui BSNP berdasarkan PP. No. 16 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Memberikan kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sebenarnya sebuah langkah mundur dalam dunia pendidikan. pemberian kewenangan ini nyata sekali tidak didasari pengetahuan pedagogik yang baik alias didasarkan pada pertimbangan pedagogik yang serampangan. Peserta didik hanya dianggap sebagai objek atau out-put dari sebuah 'pabrik' pendidikan yang perlu disortir kelayakannya. produk yang gagal dan tidak sesuai standar dimasukkan dalam 'tong sampah', hanya yang memenuhi standar yang boleh menikmati pendidikan yang lebih tinggi. Logika berpikir semacam ini, jelas banyak diracuni oleh cara berpikir "Pabrikkan dan makelar", sekolah dianggap sebagai pabrik dan ujian sekolah adalah seleksi produk. Terkait dengan hal ini, kadangkala saya berpikir inilah yang akan terjadi jika pemegang penentu kebijakan pendidikan diduduki oleh 'saudagar-saudagar' "ekonom-ekonom" dan "opurtunis-opurtunis' yang sesungguhnya miskin pengetahuan pedagogik.
Pemberian kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sesungguhnya pembiaran penjegalan fungsi pendidikan sebagai pelestari tradisi kemanusiaan dan pendewasaan anak manusia. Anak didik adalah subjek manusia yang mempunyai beragam keunikan dan perbedaan, dan yang mengenali hal ini adalah guru itu sendiri bukan orang lain yang tidak bersentuhan dengannya apalagi oleh lembaga yang terdiri dari orang-orang yang sesungguhnya sangat jauh bersentuhan dengan dirinya.
BSNP menurut PP. No.19 tahun 2005 adalah lembaga independent, hal ini mempunyai maksud bahwa BSNP lepas dari segala campur tangan pemerintah, namun dalam kenyataanya BSNP merupakan kepanjangan pemerintah dalam hal ini Depdiknas. Dinegara-negara maju lembaga yang setara dengan BSNP dibentuk oleh lembaga profesional guru, karena pada dasarnya gurulah yang tahu standar apa yang diperlukan oleh sekolah, bukan oleh lembaga yang berisi oleh sekumpulan ahli pendidikan yang sebenarnya tidak pernah mengalami dan merasakan kebutuhan apa yang diperlukan oleh sekolah.
Akses UN Mereduksi Tujuan Luhur Pendidikan "Humanisasi dan Homonisasi"
UN yang dipakai sebagai 'hakim' atau tolok ukur kelulusan siswa sesungguhnya adalah 'pelecehan terang-terangan' terhadap tujuan luhur pendidikan 'humanisasi dan homonisasi'. Sesungguhnya UN hanyalah program yang tidak menghargai keunikan manusia sebagai pribadi. UN telah 'mebonsai' arti manusia menjadi setara dengan barang produksi. Barang produksi yang cacat dipinggirkan dan dianggap menjadi tidak berharga.
Pribadi manusia sangatlah unik dan tidak tergantikan, manusia oleh Tuhan dianugrahi dengan Bakat, talenta, kreatifitas, dan kebebasan mengembangkan diri . Kemudian keunikan yang tak tergantikan tersebut 'dihakimi' dengan menggunakan sebagian sangat kecil dari keunikan mereka, yaitu kemampuan akademik melalui UN, dan kemudian hasil dari sebagian sangat kecil dari keunikan manusia ini dijadikan dasar 'generalisasi' mutu manusia, sebuah logika yang didasari premis yang serampangan. Indikator ini dapat mudah kita lihat, banyak siswa yang tidak lulus UN adalah siswa yang berpretasi di bidang lain seperti olahraga, seni, bahasa, dan lain-lain.
Saya yakin, semua orang sepakat bahwa kemampuan akademik juga penting untuk dipelihara, namun juga perlu disadari bahwa ada tanggung jawab lain yang diemban oleh pendidikan selain kemampuan akademik yaitu pengembangan karakter sebagai pondasi bagi hidup seseorang.
Akses UN Pemicu Disorientasi Belajar Siswa dan Mengajar Guru
Permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan adalah disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Alih-alih UN dapat meningkatkan belajar siswa dan kerja keras sebagai karakter, sepeti sering diucapkan oleh pejabat pemerintah, yang terjadi sesungguhnya adalah siswa berbondong-bondong masuk dalam bimbingan belajar, dan tidak sedikit bimbingan belajar ini bekerja dengan sekolah-sekolah. Lembaga yang melabeli dirinya bimbingan belajar ini, realitanya adalah lembaga bimbingan test, yang hanya mengedrill test-test yang diprediksi keluar dalam UN. Ironisnya guru dan sekolah juga terjebak pada hal yang sama, pembelajaran yang mempunyai makna luhur telah dikerdilkan menjadi sekedar teaching for test. Meminjam istilahnya Andi Hakim nasution, sekolah dan lembaga bimbingan belajar menjadi lembaga 'pembonsaian' pendidikan, menjadikan anak menjadi tukang hafal soal dan jawaban, yang cenderung dilupakan seiring dengan berlalunya UN.
Tidak Terpenuhinya Standar Pendidikan Merata Vs Evaluasi Dilakukan Nasional
Seperti kita lihat saat ini, UN bersifat uniform untuk semua sekolah di Indonesia dengan standar kelulusan yang sama. menjadi sebuah pertanyaan besar?, bagaimana UN yang sama diselenggarakan untuk peserta didik yang ada dikota besar dengan peserta didik didaerah pedalaman yang tertinggal di seluruh Indonesia. Standar kelulusan yang sama hanya dapat diberlakukan ketika semua sekolah memenuhi kualifikasi delapan standar yang sama seperti telah ditetapkan oleh BSNP. Selama ini sebagian besar sekolah tyang telah memenuhi ke delapan standar tersebut ada di pulau Jawa terutama Jakarta, yang terjadi kemudian adalah 'pemaksaan' kelulusan dengan standar jawa. Kenyataan ini sangat 'melukai' rasa keadilan bagi peserta didik.
Terkait dengan hal ini, Saya memahami logika berpikir pemerintah, dalam keputusasaan, saya seringkali sampai pada kesimpulan UN lebih kental dengan nuansa proyek 'menghambur-hamburkan Uang rakyat', dengan mengorbankan hak asasi anak daripada usaha peningkatan mutu pendidikan.
UJIAN NASIONAL (UN) EVALUASI YANG PERLU DIEVALUASI
Dari uraian di atas efektifitas UN menyisakan banyak permasalahan, mulai dari landasan hukum yang cacat sampai dengan dampak pelaksanaan UN di lapangan terhadap pendidikan, seperti menyebabkan disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Manfaat yang mungkin dari UN adalah 'pemetaan kemampuan kognitif', yang kemudian diciderai 'kemampuan kognitif' dijadikan sebagai hakim penentu kelulusan siswa, yang sebenarnya telah mengkerdilkan esensi manusia sebagai individu yang unik.
Berbicara tentang 'tentang UN evaluasi yang perlu dievaluasi" saya berpendapat bahwa UN perlu dilakukan re-evaluasi ulang. Mengukur standar kualitas lulusan peserta didik menurut saya harus benar-benar mengukur keseluruhan aspek kemanusiaan manusia, tidak diredusir hanya sekedar kemampuan akademik. UN tetap diperlukan namun posisinya diletakkan sebagai pemetaan kualitas peserta didik untuk kemampuan akademik, dan perlu juga dilengkapi alat evaluasi lain untuk mengevaluasi aspek-aspek yang lain, seperti afektif, dll. Penggunaan UN konvesional yang hanya mengukur aspek akademik sebagai 'hakim' penentu kelulusan siswa jelas melanggar banyak aspek, terutama aspek pedagogik dan hak asasi manusia. Menurut saya penentuan kelulusan tetap menjadi otonomi guru, karena merekalah yang mengetahui perkembangan kemampuan anak didiknya.
Terkait dengan hal ini, saya teringat ucapan yang disampaikan oleh Bapak Hari Setiadi kepala Bidang analisis dan Pusat Penilaian Pendidikan, dalam suatu kesempatan. Beliau menyatakan, "kalau tidak UN, apa alat pengganti UN?", " kalau guru penentu kelulusan, bagaimana dengan objektivitasnya?". Statement tersebut menurut saya tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Beliau sesungguhnya, dilandasi oleh pemikiran yang menganggap manusia secara mekanis yang kemudian diredusir sebatas aspek kemampuan akademik, melupakan bahwa manusia sebagai pribadi yang dikaruniai Tuhan dengan pikiran, Budi, Kehendak, emosi dan lainya. Selain itu statement tersebut kental dengan nuansa 'manajemen curiga dan tidak percaya".
Terkait dengan alternatif UN sebagai alat penentu kelulusan, sistem penilaian portofolio layak untuk dikaji dan dipertimbangkan, karena penilaian ini lebih strategis dalam menggambarkan diri peserta didik sebagai siswa daripada UN. Selain itu, penilaian portofolio ini sejalan dengan isu yang sedang digembar-gemborkan pemerintah otonomi pendidikan dan refoemasi pendidikan. Penilaian portofolio juga akan memberdayakan guru karena guru dituntut untuk bekerja keras agar memberikan penilaian yang objektif kepada murid.
Sebuah logika yang tidak logis, jika pemerintah ingin memberdayakan guru justru yang dilakukan adalah usaha-usaha pengkebirian potensi dan hak guru.
Semua yang tertulis di atas adalah pendapat pribadi saya, sampean boleh berbeda pendapat?, bagaimana menurut sampean?
Malang, 26 Mei 2009
Baskoro Adi Prayitno
FKIP-UNS Surakarta
www.baskoro1.blogspot.com
Dahulu kala, ada seorang gadis kecil yang ceroboh bernama Little Red Ridding Hood. Suatu hari, ketika mengunjungi neneknya yang sedang sakit, Dia disambut oleh seekor serigala yang mengenakan baju malam neneknya. "Nek, alangkah besar matamu", ungkapnya sama sekali tidak tahu, sekalipun ia sudah ratusan kali menatap mata neneknya sebelumnya. "Nek, Alangkah besar dan panjang telingamu", sambungnya meskipun sebenarnya telinga neneknya tidak mungkin berubah sejak kunjungannya yang terakhir. "Nek, alangkah berat suaramu", ungkapnya lagi, masih tidak sadar bahwa yang ia hadapi adalah seekor serigala, bukan neneknya. Cerita ini, menceritakan tentang kecerobohan seorang anak kecil dalam menyimpulkan sesuatu karena terjebak pada fakta parsial (gaun malam neneknya) dan tidak melihat secara komprehensif (bahwa yang memakai gaun tersebut sebenarnya bukan neneknya melainkan seekor serigala yang siap memangsannya).
Cerita di atas, agaknya sangat relevan ketika kita berbicara tentang UN. Baru beberapa waktu lalu UN dilaksanakan, seperti tahun-tahun sebelumnya pemerintah mendapat hujan 'cacian' dari berbagai pihak, namun demikian pemerintah tidak bergeming sedikitpun "Anjing menggongong kafilah berlalu" dan bahkan seolah 'meledek' para pengkritiknya pemerintah malah menaikkan nilai standard kelulusan peserta UN. Melalui berbagai media massa, pemerintah melakukan pembelaan diri, beberapa argumen sempat terekam dalam catatan saya, diantaranya, ungkapan wakil Presiden JK dan Abu Rizal Bakri "anak harus dibiasakan kerja keras, jika diberi tantangan atau dituntut dengan dengan syarat kelulusan yang tinggi dan dinaikkan tiap tahun akan membuat anak menjadi belajar", " Mutu pendidikan meningkat dari tahun ketahun, hasil UN 2007/2008 lebih bagus dari tahun sebelumnya, padahal tuntutan angka standar kelulusan lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Argumen-argumen yang disampaikan oleh wakil pemerintah tadi, bila kita mau mencoba mencermati dengan sedikit lebih seksama, sebenarnya tidak dilandasi pengetahuan pedagogis yang baik (kalau tidak boleh dikatakan dilandasi pengetahuan pedagogik yang serampangan). Argumentasi itu mesti dikembangkan dengan sebuah pertanyaan lanjutan "anak-anak belajar dengan cara apa?" , yang terjadi sebenarnya bukanlah kegiatan belajar, tetapi drill soal yang melahirkan generasi 'pembeo', "bagaimanakah mungkin, angka dan jumlah lulusan dijadikan indikator mutu sebuah pendidikan?", jika hal ini yang dimaksud dengan mutu pendidikan oleh pemerintah, maka pendidikan kita dalam keadaan mengalami kemunduran besar-besaran sampai titik nadirnya. Mutu pendidikan hanya diukur dari kemahiran siswa menjawab soal-soal UN, yang kemudian sebenarnya mereka kembali menjadi bodoh, karena kemahiran tersebut diperoleh dari kegiatan 'menghafal' melalui drill latihan soal, bukan dari kegiatan pembelajaran yang bermakna. Ketidakmauan pemerintah saat ini untuk 'membuka' pintu diskusi terhadap argumen-argumen dari kubu yang bersebrangan dengan kubunya, suatu saat akan mengantarkan nasib yang sama dengan gadis kecil dalam cerita di atas. Ketika pemerintah mulai menyadari hal ini, semuanya sudah terlambat, karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru akan dilihat pada masa mendatang.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengkaji dan mengurai efektifitas UN dilihat dari beberapa sudut pandang, kemudian berdasarkan kajian tersebut saya mencoba menyimpulkan 'apakah UN memang alat evaluasi yang layak atau UN sebenarnya alat evaluasi yang sebenarnya perlu dievaluasi lagi penggunaanya. Terkait dengan hal tersebut, saya mengorganisasikan urutan penulisan sebagai berikut; pada bagian awal, saya akan mencoba membahas tentang gambaran awal UN dan Standarisasi Pendidikan, gambaran awal tentang hal ini sangat diperlukan sebagai pengetahuan prasarat bagi kita memahami argumen-argumen selanjutnya dalam tulisan ini, karena sesungguhnya UN tidak dapat dipisahkan dengan konsep Standarisasi pendidikan. Pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang efektifitas UN dari berbagai sudut pandang, yang mencoba mengurai efektifitas UN mulai dari hilir (peraturan perundangan) sampai dengan hulu (akses implementasi UN di Lapangan). Pembahasan terakhir akan ditutup dengan pembahasan tentang 'apakah UN memang alat evaluasi yang perlu dievaluasi keefektifanya?", sekaligus alternatif solusi pengganti UN sebagai penentu kelulusan yang dapat dipertimbangkan dan dikaji. Organisasi penyajian tulisan yang demikian, diharapkan mampu memberikan kemudahan pada pembaca dalam mengikuti alur argumen-argumen dalam tulisan ini.
STANDARISASI PENDIDIKAN DAN UJIAN NASIONAL (UN)
Istilah standarisasi merupakan pengejawantahan dari paham 'segala sesuatu dapat diukur', karena segala sesuatu dapat diukur maka dapat diusahakan terjadinya efisiensi dan diketahui kualitas suatu benda atau suatu pelayanan (pendidikan salah satu yang termasuk di dalamnya). Standa nasional pendidikan idealnya diperlukan untuk pengukuran kualitas pendidikan secara nasional, pemetaan masalah pendidikan secara nasional, dan dapat dijadikan dasar dalam penyusunan dan pengembangan strategi pendidikan selanjutnya.
Menurut PP. No. 19 Tahun 2005 yang merupakan penjabaran dari UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, terdapat delapan standard pendidikan yang kewenangan penyusunannya diberikan ke lembaga independent yang disebut Badan Standard Nasional Penddikan (BSNP). Ke delapan standard tersebut adalah, 1) standard isi, 2) standard proses, 3) standard kompetensi lulusan, 4) standard pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pembiayaan, 7) standar pengelolaan, 8) standar penilaian pendidikan.
Terkait dengan hal di atas, standar adalah patokan yang menuntut secara berkala diketahui sampai dimana efektifitasnya. Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan alat evaluasi nasional, salah satunya UN. Menurut Permen No. 77 tahun 2008 tentang UN SMA/MA, tujuan UN dimaksudkan untuk; 1) pemetaan mutu satuan/program pendidikan, 2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan lebih tinggi, 3) penentuan kelulusan perserta didik, 4) pembinaan dan pemberian bantuan pada program/satuan pendidikan. Penyelenggaraan UN diberikan wewenang ke BSNP.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa tujuan UN dimaksudkan untuk mengevaluasi efektifitas penyelengaraan standar pendidikan yang telah ditetapkan oleh BSNP. Pembahasan selanjutnya dibahas bagaimana efektifitas UN selama ini (sebenarnya) untuk mengevaluasi standar nasional pendidikan.
KE-EFEKTIFAN UN DIKAJI DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG
Mengkaji keefektifan UN, idealnya harus dimulai dari hilir sampai dengan hulu atau dengan kata lain kajian tersebut harus dimulai dari dasar legal formal sampai dengan akses aspek teknis implementasi UN di lapangan sebagai penentu kelulusan peserta didik. terkait dengan hal tersebut, pada bagian ini akan dikaji tentang a) kontroversi tentang 'cacatnya' landasan hukum pelaksanaan UN, b) kontroversi tentang lembaga BSNP dan keindependenya sebagai pelaksana UN, c) Akses UN yang mereduksi tujuan pendidikan 'humanisasi' dan 'homonisasi', d) akses UN sebagai pemicu disorientasi belajar siswa dan mengajar Guru, e) Tidak terpenuhinya delapan standar yang merata secara nasional, namun diberlakukan angka kelulusan yang sama mencidrai rasa keadilan bagi peserta didik.
UN dilandasi oleh Landasan Hukum yang "Cacat"
Permasalahan yang sering diperdebatkan terkait dengan UN adalah mengenai kontradiksi landasan hukum pelaksanaan UN, keluarnya PP. No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang diharapkan menjadi landasan hukum pelaksanaan UN malah bertentangan dengan peraturan di atasnya UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya tentang 'siapa yang sebenarnya yang mempunyai otoritas melakukan evaluasi terhadap peserta didik'. menurut UU. No 20 tahun 2003 pasal 58 wewenang tersebuta ada ditangan pendidik, namun hal ini kontradiktif dengan PP. No.10 tahun 2005 dan Permen No. 77 tahun 2008 yang memberikan otoritas evaluasi pada menteri pendidikan nasional dengan meminta bantuan badan yang disebut BSNP.
Kontradiksi tersebut bukan hanya terjadi antar produk hukum, bahkan juga pertentangan antar pasal dan pertentangan antar ayat dalam PP No. 19 tahun 2005 banyak sekali terjadi. Misalnya pertentangan pasal 66 ayat 1 butir c yang menyatakan UN dipakai untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik hal ini bertentangan dengan pasal 68 yang menyatakan ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Pertentangan antar ayat dapat dilihat pada pasal 69 ayat 1 dan ayat 2 tentang kontroversi UN itu hak atau wajib, pada ayat 1 dikemukakan UN adalah hak, hal ini berimplikasi boleh ikut UN atau tidak, sedangkan pada ayat 2 dikemukakan UN adalah wajib, hal ini berimplikasi peserta didik wajib ikut UN.
Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa landasan hukum pelaksanaan UN tersebut amat lemah dan cacat karena banyak kontradiksi ditemukan di dalamnya.
Kontroversi Tentang Kewenangan dan Keindependenan BSNP
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kewenangan guru dalam menilai keberhasilan pendidikan yang dimanatkan UU No.20 tahun 2003 telah 'dirampok' secara inskonstitusional oleh pemerintah melalui BSNP berdasarkan PP. No. 16 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Memberikan kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sebenarnya sebuah langkah mundur dalam dunia pendidikan. pemberian kewenangan ini nyata sekali tidak didasari pengetahuan pedagogik yang baik alias didasarkan pada pertimbangan pedagogik yang serampangan. Peserta didik hanya dianggap sebagai objek atau out-put dari sebuah 'pabrik' pendidikan yang perlu disortir kelayakannya. produk yang gagal dan tidak sesuai standar dimasukkan dalam 'tong sampah', hanya yang memenuhi standar yang boleh menikmati pendidikan yang lebih tinggi. Logika berpikir semacam ini, jelas banyak diracuni oleh cara berpikir "Pabrikkan dan makelar", sekolah dianggap sebagai pabrik dan ujian sekolah adalah seleksi produk. Terkait dengan hal ini, kadangkala saya berpikir inilah yang akan terjadi jika pemegang penentu kebijakan pendidikan diduduki oleh 'saudagar-saudagar' "ekonom-ekonom" dan "opurtunis-opurtunis' yang sesungguhnya miskin pengetahuan pedagogik.
Pemberian kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sesungguhnya pembiaran penjegalan fungsi pendidikan sebagai pelestari tradisi kemanusiaan dan pendewasaan anak manusia. Anak didik adalah subjek manusia yang mempunyai beragam keunikan dan perbedaan, dan yang mengenali hal ini adalah guru itu sendiri bukan orang lain yang tidak bersentuhan dengannya apalagi oleh lembaga yang terdiri dari orang-orang yang sesungguhnya sangat jauh bersentuhan dengan dirinya.
BSNP menurut PP. No.19 tahun 2005 adalah lembaga independent, hal ini mempunyai maksud bahwa BSNP lepas dari segala campur tangan pemerintah, namun dalam kenyataanya BSNP merupakan kepanjangan pemerintah dalam hal ini Depdiknas. Dinegara-negara maju lembaga yang setara dengan BSNP dibentuk oleh lembaga profesional guru, karena pada dasarnya gurulah yang tahu standar apa yang diperlukan oleh sekolah, bukan oleh lembaga yang berisi oleh sekumpulan ahli pendidikan yang sebenarnya tidak pernah mengalami dan merasakan kebutuhan apa yang diperlukan oleh sekolah.
Akses UN Mereduksi Tujuan Luhur Pendidikan "Humanisasi dan Homonisasi"
UN yang dipakai sebagai 'hakim' atau tolok ukur kelulusan siswa sesungguhnya adalah 'pelecehan terang-terangan' terhadap tujuan luhur pendidikan 'humanisasi dan homonisasi'. Sesungguhnya UN hanyalah program yang tidak menghargai keunikan manusia sebagai pribadi. UN telah 'mebonsai' arti manusia menjadi setara dengan barang produksi. Barang produksi yang cacat dipinggirkan dan dianggap menjadi tidak berharga.
Pribadi manusia sangatlah unik dan tidak tergantikan, manusia oleh Tuhan dianugrahi dengan Bakat, talenta, kreatifitas, dan kebebasan mengembangkan diri . Kemudian keunikan yang tak tergantikan tersebut 'dihakimi' dengan menggunakan sebagian sangat kecil dari keunikan mereka, yaitu kemampuan akademik melalui UN, dan kemudian hasil dari sebagian sangat kecil dari keunikan manusia ini dijadikan dasar 'generalisasi' mutu manusia, sebuah logika yang didasari premis yang serampangan. Indikator ini dapat mudah kita lihat, banyak siswa yang tidak lulus UN adalah siswa yang berpretasi di bidang lain seperti olahraga, seni, bahasa, dan lain-lain.
Saya yakin, semua orang sepakat bahwa kemampuan akademik juga penting untuk dipelihara, namun juga perlu disadari bahwa ada tanggung jawab lain yang diemban oleh pendidikan selain kemampuan akademik yaitu pengembangan karakter sebagai pondasi bagi hidup seseorang.
Akses UN Pemicu Disorientasi Belajar Siswa dan Mengajar Guru
Permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan adalah disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Alih-alih UN dapat meningkatkan belajar siswa dan kerja keras sebagai karakter, sepeti sering diucapkan oleh pejabat pemerintah, yang terjadi sesungguhnya adalah siswa berbondong-bondong masuk dalam bimbingan belajar, dan tidak sedikit bimbingan belajar ini bekerja dengan sekolah-sekolah. Lembaga yang melabeli dirinya bimbingan belajar ini, realitanya adalah lembaga bimbingan test, yang hanya mengedrill test-test yang diprediksi keluar dalam UN. Ironisnya guru dan sekolah juga terjebak pada hal yang sama, pembelajaran yang mempunyai makna luhur telah dikerdilkan menjadi sekedar teaching for test. Meminjam istilahnya Andi Hakim nasution, sekolah dan lembaga bimbingan belajar menjadi lembaga 'pembonsaian' pendidikan, menjadikan anak menjadi tukang hafal soal dan jawaban, yang cenderung dilupakan seiring dengan berlalunya UN.
Tidak Terpenuhinya Standar Pendidikan Merata Vs Evaluasi Dilakukan Nasional
Seperti kita lihat saat ini, UN bersifat uniform untuk semua sekolah di Indonesia dengan standar kelulusan yang sama. menjadi sebuah pertanyaan besar?, bagaimana UN yang sama diselenggarakan untuk peserta didik yang ada dikota besar dengan peserta didik didaerah pedalaman yang tertinggal di seluruh Indonesia. Standar kelulusan yang sama hanya dapat diberlakukan ketika semua sekolah memenuhi kualifikasi delapan standar yang sama seperti telah ditetapkan oleh BSNP. Selama ini sebagian besar sekolah tyang telah memenuhi ke delapan standar tersebut ada di pulau Jawa terutama Jakarta, yang terjadi kemudian adalah 'pemaksaan' kelulusan dengan standar jawa. Kenyataan ini sangat 'melukai' rasa keadilan bagi peserta didik.
Terkait dengan hal ini, Saya memahami logika berpikir pemerintah, dalam keputusasaan, saya seringkali sampai pada kesimpulan UN lebih kental dengan nuansa proyek 'menghambur-hamburkan Uang rakyat', dengan mengorbankan hak asasi anak daripada usaha peningkatan mutu pendidikan.
UJIAN NASIONAL (UN) EVALUASI YANG PERLU DIEVALUASI
Dari uraian di atas efektifitas UN menyisakan banyak permasalahan, mulai dari landasan hukum yang cacat sampai dengan dampak pelaksanaan UN di lapangan terhadap pendidikan, seperti menyebabkan disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Manfaat yang mungkin dari UN adalah 'pemetaan kemampuan kognitif', yang kemudian diciderai 'kemampuan kognitif' dijadikan sebagai hakim penentu kelulusan siswa, yang sebenarnya telah mengkerdilkan esensi manusia sebagai individu yang unik.
Berbicara tentang 'tentang UN evaluasi yang perlu dievaluasi" saya berpendapat bahwa UN perlu dilakukan re-evaluasi ulang. Mengukur standar kualitas lulusan peserta didik menurut saya harus benar-benar mengukur keseluruhan aspek kemanusiaan manusia, tidak diredusir hanya sekedar kemampuan akademik. UN tetap diperlukan namun posisinya diletakkan sebagai pemetaan kualitas peserta didik untuk kemampuan akademik, dan perlu juga dilengkapi alat evaluasi lain untuk mengevaluasi aspek-aspek yang lain, seperti afektif, dll. Penggunaan UN konvesional yang hanya mengukur aspek akademik sebagai 'hakim' penentu kelulusan siswa jelas melanggar banyak aspek, terutama aspek pedagogik dan hak asasi manusia. Menurut saya penentuan kelulusan tetap menjadi otonomi guru, karena merekalah yang mengetahui perkembangan kemampuan anak didiknya.
Terkait dengan hal ini, saya teringat ucapan yang disampaikan oleh Bapak Hari Setiadi kepala Bidang analisis dan Pusat Penilaian Pendidikan, dalam suatu kesempatan. Beliau menyatakan, "kalau tidak UN, apa alat pengganti UN?", " kalau guru penentu kelulusan, bagaimana dengan objektivitasnya?". Statement tersebut menurut saya tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Beliau sesungguhnya, dilandasi oleh pemikiran yang menganggap manusia secara mekanis yang kemudian diredusir sebatas aspek kemampuan akademik, melupakan bahwa manusia sebagai pribadi yang dikaruniai Tuhan dengan pikiran, Budi, Kehendak, emosi dan lainya. Selain itu statement tersebut kental dengan nuansa 'manajemen curiga dan tidak percaya".
Terkait dengan alternatif UN sebagai alat penentu kelulusan, sistem penilaian portofolio layak untuk dikaji dan dipertimbangkan, karena penilaian ini lebih strategis dalam menggambarkan diri peserta didik sebagai siswa daripada UN. Selain itu, penilaian portofolio ini sejalan dengan isu yang sedang digembar-gemborkan pemerintah otonomi pendidikan dan refoemasi pendidikan. Penilaian portofolio juga akan memberdayakan guru karena guru dituntut untuk bekerja keras agar memberikan penilaian yang objektif kepada murid.
Sebuah logika yang tidak logis, jika pemerintah ingin memberdayakan guru justru yang dilakukan adalah usaha-usaha pengkebirian potensi dan hak guru.
Semua yang tertulis di atas adalah pendapat pribadi saya, sampean boleh berbeda pendapat?, bagaimana menurut sampean?
Malang, 26 Mei 2009
Baskoro Adi Prayitno
FKIP-UNS Surakarta
www.baskoro1.blogspot.com
Dedicated to My Anggel :)