Sabtu, 28 Februari 2009

BELAJAR MEMAHAMI SATU SAMA LAIN

BELAJAR MEMAHAMI SATU SAMA LAIN

Oleh:
Cak Baskoro

Menurut saya pemahaman bukanlah berdalih maupun menuduh, melainkan mengajarkan pada kita bagaimana menahan diri agar tidak lekas-lekas menyalahkan orang lain, seolah-olah kita steril dari kesalahan….


Tulisan ini berawal dari obrolan dari orang-orang kelebihan waktu di warung angkringan pinggir jalan, dengan hanya bermodalkan satu gelas JKJ hangat (Jahe, Kencur, Jeruk) seharga tiga ribu rupiah ngobrol ngalor-ngidul sampai tengah malam, bahkan kadang menjelang pagi, tidak pulang kalau tidak diusir penjaga warung (he..he..). Topik obrolan dari soal Tuyul sampai dengan masalah-masalah yang agak berat sampai super berat. (tapi yang sering topik pembicaraan sangat tidak berat he…he…)

Topik obrolan malam ini, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba membicarakan bagaimana memahami satu sama lain (mungkin karena sebagian besar dari kami adalah orang-orang yang jauh dari keluarga, yang bermasalah dengan masalah dipahami dan memahami…he…he…). Namun dalam tulisan ini, saya tidak hendak membicarakan bagaimana tips dan trik memahami dalam konteks keluarga yang saling berjauhan (karena saya juga sulit untuk paham dan memahami…he..he..). Saya mencoba membicarakan dalam konteks yang lebih luas “rumah kita” (baca: bangsa…wuihhhh…tingginya he..he..)

Saya pikir masalah memahami merupakan masalah yang sangat penting bagi kita. Barang kali Banyak dari kita percaya bahwa kata kunci dari memahami adalah komunikasi, di sisi lain planet ini -saat ini- dipenuhi dengan jaringan, telepon seluler, fax,internet dan alat komunikasi lainnya, pun demikian kesalahpahaman toh masih terus terjadi. Kenyataan ini menyadarkan saya bahwa ‘memahami’ tidak dapat digitalkan walaupun dengan menggunakan alat komunikasi yang super canggih sekalipun.

Konflik vertical dan horizontal di ‘rumah kita’ ini sebagian besar berakar dari ketidakmauan kita (kalau tidak boleh dikatakan ketidakbisaan) memahami satu sama lain. Permasalahan ini menurut saya merupakan masalah yang sangat besar, dan masalah ini adalah tanggung jawab dari sistem pendidikan kita. Mengajarkan dasar-dasar Biologi, Fisika dan ilmu-ilmu lainnya kepada anak didik merupakan masalah penting. Mengajarkan bagaimana memahami satu sama lain menurut saya adalah esensi spiritual pendidikan yang sejati/hakiki. Mengajarkan memahami satu sama lain kepada anak didik sebenarnya adalah melindungi moral kemanusiaan yang menjadikan jelas batas dan perbedaan kita dengan binatang.

HAKIKAT PEMAHAMAN
Memahami (comprehend) menurut Morin, berarti memahami bersama-sama secara intelektual. Pemahaman bekerja melalui inteligibilitas dan penjelasan. Penjelasan mengimpilikasikan adanya pertimbangan terhadap suatu objek. Pun demikian pemahaman itu melampaui penjelasan (pusing ya…he..he.. sama..he..he..). Penjelasan gampangnya kurang lebih begini “ketika saya melihat seorang anak kecil menangis, saya tidak akan memahami kesedihanya dengan hanya mengukur dan mengidentifikasi kandungan kimiawi yang ada pada air matanya, untuk memahaminya saya harus menggali dan menemukan kesedihan masa kecil saya sendiri, saya harus menempatkan dirinya sebagai diri saya dan saya sebagai dia. Kita harus menempatkan diri kita sebagai orang lain, dan orang lain sebagai diri kita, ego alter harus di ubah menjadi alter ego. Kata kunci dari konsep pemahaman ini adalah empati, simpati dan kemurahan hati.

PENYEBAB SULIT MEMAHAMI SATU SAMA LAIN
Sedikitnya ada tiga penyebab hambatan-hambatan internal terkait dengan sulitnya memahami satu sama lain, yang pada prinsipnya penyebab-penyebab tersebut mengantarkan kita pada perasaan menjadi satu-satunya seseorang di pusat dunia dan menganggap yang lainnya sebagai sesuatu yang sekunder bahkan tersier, tidak bermakna, kecil tak berarti, sebutir debu, numpang hidup dan musuh. Penyebab tersebut antara lain adalah;

Egosentrisme
Egosentrisme adalah kata lain dari pembenaran diri, pemujaan diri dan kecenderungan menimpakan penyebab semua kesalahan pada orang lain, hanya kitalah yang paling benar. Kita merendahkan perkataan dan perbuatan orang lain, kita memilih apa saja yang tidak disukai dan menolak apa yang disukai orang lain, kita hanya memilih kenangan yang menyenangkan dan menolak kenangan yang tidak menyenangkan, kita tidak memiliki kemampuan untuk mengkritik diri sendiri sehingga kita terbenam dalam alasan-alasan paranoid menyalahkan orang lain. Kita berpura-pura tidak pernah gagal dan lemah mengakibatkan kita tidak berbelas
kasihan terhadap kelemahan dan kegagalan orang lain.

Etnosentrisme dan Sosiosentrisme
Etnosentrisme dan sosiosentrisme menurut Morin penyebab utama terjadinya xenophobia dan rasisme yang berujung pada memperlakukan orang lain seolah-olah bukan manusia bahkan lebih rendah dari binatang. Hasil dari etnosentrisme dan sosiosentrisme adalah prasangka, rasionalisasi berdasar premis ngawur, pembenaran diri tanpa dasar, ketidakmampuan mengkritisi diri sendiri, penalaran paranoid, kesombongan, penghinaan, dan caci maki.

Pemikiran Reduktif
Terkait dengan hal ini filosof Hegel mengungkapkan ‘pemikiran yang abstrak akan memandang seorang pembunuh hanya dari kualitas abstraknya (yang terpisah dari akar permasalahannya), dan dengan cara pandang tersebut ‘memusnahkan’ sisa kemanusiaanya. Ketika sebuah pengetahuan mengenai sesuatu yang kompleks kemudian disempitkan(direduksi) menjadi satu unsur saja, dan unsur ini dianggap sebagai satu-satunya element paling penting, konsekuensi logisnya maka pemahaman akan sebuah pengetahuan akan berubah dari ujud aslinya, seperti yang dicontohkan oleh Hegel ketika kita membatasi (mereduksi) seorang manusia hanya dari sisi kejahatannya saja maka akan mengantarkan kita pada sikap prejudis dan memandang rendah orang lain.

BAGAIMANA MENDORONG TIMBULNYA PEMAHAMAN
Menurut saya pemahaman bukanlah berdalih maupun menuduh, melainkan mengajarkan pada kita bagaimana menahan diri agar tidak lekas-lekas menyalahkan orang lain, seolah-olah kita steril dari kesalahan. Bagaimana kita dapat mendorong timbulnya pemahaman?

Introspeksi Diri
Introspeksi mempunyai arti memahami kelemahan dan kegagalan diri. Jika kita menyadari bahwa kita semua bisa dan pernah berbuat salah, rapuh, dan tidak sempurna akan mengantarkan kita pada pemahaman bahwa semua dari kita sama-sama membutuhkan pemahaman, tidak selayaknya kita memposisikan diri sebagai hakim atas segala sesuatu.

Keterbukaan Terhadap Sesama
Memahami orang lain menuntut adanya kesadaran akan kompleksitas manusia, kita harus menyadari bahwa manusia tidak boleh direduksi sebatas bagian kecil darinya atau bagian terburuk dari masa lalunya. Kita mengenal Anton Medan mantan preman menjadi ustad besar. Seseorang yang melihat jijik terhadap gelandangan di jalanan sesungguhnya telah mereduksi manusia hanya dari sebuah penampilannya.

Toleransi
Toleransi menurut Voltaire adalah sesuatu yang membuat kita menghormati hak orang lain untuk mengungkapkan hal-hal yang kita anggap tidak pantas, bukan karena kita menghargai hal yang tidak pantas itu, melainkan karena kita menghindari perbuatan mengucilkan orang tersebut dengan memaksakan pandangan kita terhadap kepantasan. Toleransi adalah sesuatu menghargai ungkapan pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita. Toleransi adalah kesadaran ada kebenaran dalam ide yang bersebrangan dengan ide kita, dan ide itu adalah kebenaran yang harus kita hormati. Namun toleransi itu hanya berlaku untuk suatu ide, bukan
untuk serangan, anarkisme dan pembunuhan.

Bagaimana Pendapat Sampean….?


Malang, Sabtu, 28 Februari 2009
Mendadak Wise…he..he…


Salam

Baskoro Adi Prayitno
sedang belajar untuk memahamiRata Penuh

Sabtu, 14 Februari 2009

Pengembangan Karakter dan Pendidikan Kita

PENGEMBANGAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN KITA


Oleh:
Cak Baskoro


Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Jadi jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building, karena kita sendiri yang telah mencampakannya dalam tong sampah…untuk jadi santapan Anjing!!!


Saya sungguh merasa sangat sedih dan perihatin melihat berbagai peristiwa yang secara berulang ditulis dan ditayangkan oleh media massa, seolah-olah ‘dirumah kita’ tercinta ini sudah tidak ada hari tanpa ‘kekerasan’, tiada hari tanpa demonstrasi yang diakhiri dengan anarkhisme. Kita dulu dikenal sebagai bangsa yang sopan dan ramah, kini berubah menjadi bangsa yang beringas dan mudah marah tidak ada bedanya dengan sosok penyandang kelainan retardasi mental, yang cenderung akan menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya. Baru saja saya melihat tayangan di televisi tentang demonstrasi anarkhis berujung pada kematian ketua DPRD Sumut terkait dengan pembentukan propinsi tapanuli.

Terkait dengan hal ini, saya berpikir pasti ada yang salah, atau paling tidak ada sesuatu nilai-nilai yang dulu pernah kita miliki tergerus (kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali) dari diri kita, dan nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai vital yang mengantarkan kita kepada kebijaksanaan memahami dan menerima segala perbedaan.

Saya teringat dengan ucapan Bung Karno, bahwa bangsa ini perlu membangun watak bangsa (caracter building), terlepas ucapan Bung Karno itu dalam konteks politik, namun paling tidak ucapan itu menyadarkan kita bahwa keragaman ‘di dalam rumah kita’ berpotensi menjadi bom waktu yang siap meledak, ketika watak bangsa ini tidak diperhatikan dan digarap dengan baik.

Ungkapan tentang character building saat ini, sering kali kita dengar, diucapkan para politisi, birokrat, pemimpin organisasi, dengan teori yang ‘berbusa-busa’, mengenai tentang pentingnya pendidikan karakter untuk ‘merehabilitasi’ modal sosial yang telah tergerus dari diri kita. Namun bagi saya, ungkapan-ungkapan ini sudah klise kosong, nyaris tak bermakna. Saat ini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata tersebut, berlalu begitu saja tidak pernah singgah di dalam otak apalagi hati saya (kalau tidak boleh dikatakan muak).

Barangkali sampean menganggap saya seorang pesimistis yang selalu menilai negatif terhadap sesuatu. Untuk beberapa hal, penilaian sampean barangkali benar. Namun yang perlu sampean ketahui pesimistis saya bukan tanpa alasan.

Ketika ungkapan tentang pengembangan karakter diucapkan oleh Bung Karno dan Ki Hadjar Dewantoro dari taman siswa, ungkapan ini begitu meninggalkan bekas yang mendalam dalam hati saya. Ungkapan itu begitu menghidupkan harapan besar dalam hati saya. Saya teringat bagaimana Ki Hadjar Dewantoro memaknai kata tersebut dalam konteks pedagogik –bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain pintar juga menjadi manusia yang berkarakter-, yang kemudian kita kenal dengan konsep cipta, rasa dan karsa.

Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Kita Saat Ini
Barangkali banyak dari sampean sepakat masalah caracter building masih merupakan permasalahan besar bahkan sangat amat besar. Segala penyimpangan, penyelewengan dan kebobobrokan yang kita rasakan saat ini lahir dari lemahnya karakter (watak) pada diri kita. Saya kadang kala berpikir barangkali Machiaveli benar mengatakan bahwa ’orang baik akan hancur oleh sekelompok orang yang tidak baik’. Namun hati kecil saya percaya bahwa orang baik dan jujur masih cukup banyak di negara ini, namun saat ini mereka tidak berdaya mengahadapi kelompok kecil manusia Indonesia yang korup yang bersembunyi pada kekuaasaan atau membonceng pada kekuasaan.

Pertanyaannya adalah; mengapa karakter (watak) kita lemah?, apakah kita tidak pernah mendapatkan pendidikan watak?, apa yang salah dengan pendidikan watak kita?, Jawabanya Banyak Sekali...!!, jawaban inilah yang mendasari pesimisme saya. Marilah kita uraikan satu persatu permasalahan-permasalahan terkait dengan pendidikan watak?.

Pesan pendidikan watak barangkali dititipkan pada pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau barangkali malah pelajaran budi pekerti. Sekarang marilah kita lihat apa yang diajarkan oleh pelajaran-pelajaran tersebut?, kita harus jujur mengakui bahwa program utamanya hanya terorientasi pada nilai-nilai kognitif semata, atau paling luar biasa, sedikit menyentuh sampai pada aspek afektif. Pendidikan watak seharusnya tidak hanya berhenti sampai pada aspek itu saja, yang lebih penting dari itu adalah kearah pembentukan perilaku. Pendidikan watak harus dimulai dari gnosis sampai praksis istilah pedagogiknya..

Di sisi lain secara teoritis, seorang ahli ilmu psikologi Fishbein meyatakan sumbangan efektif pengetahuan (kognitif) dan sikap (afektif) terhadap perilaku sangatlah kecil, seringkali terjadi inkonsistensi pengetahuan, sikap dengan perilaku seseorang. Untuk memperkuat argumen ini saya ambil contoh kasus ’saya seorang perokok, saya tahu tentang bahaya merokok, seandainya saya diberikan test pengetahuan dan sikap tentang bahaya rokok saya yakin mendapat nilai yang baik, namun mengapa sampai saat ini saya tetap merokok

Mengantarkan anak sampai pada tahap praksis (pembentukan perilaku) tidaklah semudah meningkatkan aspek kognitif dan afektif, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk mengamalkan nilai, perasaan merasa mempunyai harga diri yang tinggi setelah mengamalkan nilai. Oleh Ki Hadjar Dewantoro diterjemahkan dengan cipta, rasa dan karsa. Maqom tertinggi keberhasilan pendidikan watak adalah kesukarelaan anak untuk mengikatkan diri pada nilai (voluntary personal commitment to values).

Sekarang marilah kita lihat cara bangsa ini melaksanakan pendidikan watak?, karena pendidikan watak kita terorientasi pada aspek kognitif sedikit menyentuh aspek afektif, dan melupakan aspek praksis, maka segi evaluasi juga terorientasi pada aspek-aspek tersebut (kognitif sedikit afektif). Mengetahui kemajuan anak dari aspek kognitif sangatlah mudah di lakukan.

Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Marilah kita lihat, berapa mata pelajaran yang diujikan dalam UAN (terlepas pro dan kontra terhadap UAN), hanya tiga mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah menganggap pendidikan watak bagi bangsa kita ini tidak penting?, kalau kita tanya kepada guru tentang pendidikan watak, mereka akan menjawab ‘soal-soal tentang karakter/watak kan tidak ditanyakan dalam UAN mengapa menghabiskan waktu untuk yang tidak perlu”. Kebijakan pendidikan kita telah ‘menganak tirikan’ (kalau tidak boleh dikatakan menguburkan) pendidikan watak.

Jadi... Jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building..., karena kita sendiri yang telah mencampakkanya dalam tong sampah…untuk jadi santapan anjing !!!

Sebuah syair lagu Iwan Fals, yang menemani saya ketika menulis hal ini, patut jadi renungan....

Jangan Bicara Soal Nasionalisme...
.....................................................

Jangan Bicara Soal Keadilan....
....................................................

Marilah Kita Bicara Tentang.....

...................................................
Kita yang Lupa dengan Warna Bendera Kita Sendiri..


Bagaimana Menurut Sampean??...



Salam.
Baskoro Adi Prayitno

Srondol Semarang 11 Februari 2009
Pukul: 24.45
Dedicated To My Angel