Kamis, 27 Maret 2008

Bagaimana menyiapkan guru profesional?

MASALAH PENYIAPAN GURU PROFESSIONAL DAN

PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN

DI ERA INFORMASI


By:

Baskoro Adi Prayitno



PENDAHULUAN

Apakah yang membuat seseorang menjadi guru yang baik? Apakah keramahan, rasa humor, dan peduli kepada orang lain? Apakah perencanaan, kerja keras dan disiplin diri? Apakah berkaitan dengan kepemimpinan, antusiasme, senang belajar, dan kemampuan berbicara?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali dipertanyakan oleh sebagian besar orang yang peduli dengan mutu pendidikan di negeri ini. Memang tidak bisa dipungkiri sebagai personifikasi pribadi yang tugasnya selalu berhubungan dengan perkembangan sumber daya manusia (baca; pendidikan), eksistensi guru pada setiap saat selalu saja menarik untuk dibicarakan. Hal ini disebabkan masih banyak ditemukannya kesenjangan, khususnya antara kualifikasi kemampuan yang semestinya dimiliki oleh seorang guru dengan ketidakberdayaanya dalam menjalankan tugas sehari-hari. Misalnya saja hasil uji kompetensi guru yang dilaksanakan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan bekerja sama dengan LPMP NTB periode 2003/2004 dilaporkan dari empat ratus orang guru SD yang diuji kompetensinya hanya empat orang atau 1% yang dianggap layak untuk mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia SD, dan 6 orang atau 1,5% yang dianggap layak mengajar sains SD (Nahdi, 2005); selain itu harus kita akui bersama fakta bahwa guru kita sebagian besar masih sebatas sebagai pelaksana kurikulum bukan sebagai pengembang kurikulum. Padahal secara makro guru memiliki beban tanggung jawab moral dalam rangka upaya kelestarian dan kejayaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adanya fakta-fakta demikian, selalu mendorong kita untuk senantiasa ‘mengernyitkan dahi’ untuk selalu memikirkan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan sehingga para guru mempunyai performans professional sebagai layaknya seseorang disebut sebagai guru. Upaya-upaya tersebut semakin menjadi sangat urgent manakala dikaitkan dengan tuntutan di dalam masyarakat industri yang berbasis informasi seperti zaman sekarang ini. Hal ini mau tidak mau akan membawa sebuah konsekuensi logis bagi seorang guru untuk selalu meng-upgrade segenap pengetahuannya sesuai dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi serta perkembangan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, menjadi tantangan bagi kita untuk senantiasa meningkatkan dan mengembangkan kualitas professional seorang guru sehingga mereka mampu menyongsong kecenderungan era global masyarakat industri sehingga secara langsung akan berdampak pada tugas professional seorang guru yang mulia yaitu menyiapkan manusia-manusia Indonesia menjadi lebih baik.

Menurut hemat penulis setidaknya ada dua tema sentral yang berkaitan dengan penyiapan guru secara professional yaitu persoalan penyiapan calon guru dan persoalan peningkatan mutu pembelajaran.


MASALAH PENYIAPAN CALON GURU

Bertolak dari hipotesis bahwa karakteristik sumber daya manusia di masa akan datang ditentukan oleh persiapan manusia pada masa sekarang, hal ini mengandung arti bahwa guru sangat berperan dalam pengembangan segenap potensi peserta didik. Oleh karena itu anggapan yang menyatakan guru adalah individu yang baik, yang mendasarkan praktiknya pada institusi, tradisi, atau pilihan pribadi, tidak lagi dapat diterima oleh masyarakat. Guru pada saat ini adalah guru yang harus bertanggungjawab terhadap praktik terbaik di bidang profesinya.

Ke urgent-an posisi guru di atas tentunya harus senantiasa mendapatkan perhatian serius pemerintah dan lembaga-lembaga penyedia tenaga kependidikan (LPTK) dalam menyiapkan guru. Dan sesungguhnya pemerintah telah banyak melakukan peningkatan dan pengembangan kualifikasi kemampuan guru sebagai wujud kepedulianya terhadap ke urgent-nan posisi guru, salah satunya adalah melalui pre-service training (prajabatan) dan in service training. Namun demikian dalam kenyataanya, masih banyak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa mutu atau kualifikasi kemampuan guru masih dipersoalan oleh banyak kalangan.

Seiring dengan gagasan di atas Arends dalam Nur (2000) berpendapat bahwa upaya dalam peningkatan peran dan kualitas guru dapat dicapai mana kala seorang guru menguasai kompetensi-kompetensi berikut: (1) guru yang professional adalah guru yang memiliki kualitas pribadi yang memungkinkan ia mengembangkan hubungan kemanusiaan yang tulus dengan para siswanya, dengan orang tua dan kolega-koleganya, (2) guru yang professional adalah guru yang mempunyai sikap positif terhadap ilmu pengetahuan (menguasai dasar-dasar pengetahuan tentang belajar dan mengajar, menguasai materi yang akan diajarkannya, menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan cara belajar, menguasai pengajaran dan pengelolaan kelas). (3) guru yang professional adalah guru yang berhasil menguasai sejumlah ketrampilan mengajar yang dikenal oleh dunia pendidikan, untuk mendorong keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar, (4) guru yang professional adalah guru yang berhasil memiliki sikap ketrampilan yang mendorong siswa untuk berpikir reflektif dan mampu memecahkan masalah.

Sedangkan Nurhadi (1996) berpendapat bahwa upaya peningkatan kualitas guru dapat dilakukan dengan cara (1) guru hendaknya tidak hanya menguasai bidang studinya saja, tetapi juga menguasai wawasan IPTEK yang memadai, mengintegrasikan pengajaran IPTEK ke dalam bidang studi yang diajarkanya, (2) sejak dini seorang guru perlu menanamkan nilai budaya masyarakat industri kepada peserta didik, (3) mengintensifkan intervensi guru dalam rangka mendorong anak sadar dan mau bersekolah, (4) membantu anak dalam mencari sumber informasi dalam memungkinkan anak menguasai IPTEK, (5) memberi kesempatan guru untuk studi lanjut, (6) memperbaiki insentif guru, (7) penyesuaian jenjang pendidikan sesuai kebutuhan dan kemajuan IPTEK bagi guru dan calon guru.

Oleh sebab itu untuk mengkontekstualkan gagasan para ahli di atas perlu dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: pertama, restrukturisasi kurikulum lembaga penyedia tenaga kependidikan (LPTK). Kurikulum LPTK hendaknya secara kontinyu dan terus menerus selalu dikembangkan dan dimantabkan. Pegembangan dan pemantapan kurikulum ini perlu, karena tuntutan lapangan selalu berubah setiap saat, materi mata-mata kuliah di LPTK yang tidak relefan dengan tuntutan lapangan dengan ‘senang hati’ harus disingkirkan, diganti dengan materi yang lebih relefan dengan tuntutan lapangan. Namun demikian pengembangan dan pemantaban kurikulum ini tentunya harus melalui tahap pengkajian yang mendalam sehingga memerlukan keterlibatan berbagai pihak di luar LPTK itu sendiri, seperti sekolah, dinas pendidikan dan lembaga-lembaga lain yang relevan, bahkan juga masyarakat yang peduli dengan pendidikan. Sekolah, dinas pendidikan, masyarakat yang peduli dengan pendidikan adalah “konsumen” lulusan LPTK mereka berperan sebagai “pengontrol“ mutu lulusan dengan senantiasa memberikan masukan tentang kelemahan dan kelebihan lulusan yang dikeluarkan oleh LPTK sebagai “produsen” pendidik/guru. Oleh karena itu kurikulum LPTK hendaknya tidak stagnan dan rigid namun fleksibel dan lentur berubah setiap saat sesuai tuntutan era global. Bila pengembangan kurikulum ini tidak ditinjau secara periodik oleh LPTK maka kurikulum LPTK hanya akan bersifat utopia belaka. Pada gilirannya akan menghasilkan guru-guru “bermasalah” yang hanya menjadi beban negara.

Kedua, peninjauan kembali model peningkatan kemampuan professional guru dengan penataran dan seminar, hal ini perlu dilakukan karena kegiatan ini seringkali tidak efektif. Ketidakefektifan ini disebabkan hasil penataran dan seminar tersebut jarang sekali diimplementasikan setelah yang bersangkutan itu kembali di tempat mengajarnya. Di samping itu materi seminar dan mata tatar seringkali tidak ada kesinambungan satu sama lain atau kurang memberi manfaat bagi guru. Padahal kegiatan semacam ini membutuhkan dana yang sangat besar. Oleh karena itu perlu suatu model peningkatan kemampuan profesioanal guru yang berbasis pada kebutuhan guru (need oriented) dan berkesinambungan (integrated). Sehubungan dengan hal ini Tilaar (1993) menyarankan pembinaan terhadap kemampuan professional guru hendaknya menekankan pada; (1) penataran guru tidak perlu dilakukan dengan cara tatap muka, namun lebih mengarah pada akreditasi (pengakuan) kemampuan professional guru yang dikaitkan dengan dengan mekanisme pengujian pada setiap kenaikan jabatan, (2) meminimalkan beban tugas guru yang bersifat tekhnik administratif dan tetap memberi peluang guru untuk banyak belajar dan membaca, (3) menciptakan suasana sekolah yang kondusif bagi guru untuk belajar bersama dengan sesama guru (peer teaching), (4) memberi kesempatan seluas-luasnya bagi guru untuk studi lanjut di perguruan tinggi.

Ketiga, perlunya badan standarisasi kompetensi professionali guru. Standarisai kompetensi profesional guru merupakan hal mutlak yang harus secepatnya dilakukan oleh pemerintah. Dengan standarisasi ini akan diperoleh standard baku mengenai kualifikasi kompetensi professional guru yang dapat dijadikan sebagai acuan bertindak dalam melaksanakan tugas utamanya sehari-hari. Hasil standarisasi ini merupakan ‘SIM’ bagi seorang guru layak atau tidak untuk mengajar. Sehingga untuk perekrutan tenaga-tenaga guru selanjutnya, hendaknya secara mutlak mensyaratkan hasil sertifikasi kompetensi professional ini selain mereka harus out put sebuah LPTK.


MASALAH PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN

Salah satu masalah klasik namun sangat krusial yang sering dialami oleh guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah adalah masih sulitnya mereka menerapkan produk-produk penelitian dan inovasi-inovasi baru yang direkomendasikan oleh pemerintah. Akibatnya hingga saat ini seringkali kinerja guru masih saja dipersoalkan oleh berbagai pihak.

Beberapa faktor penyebab masalah di atas paling sedikit disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) produk-produk inovasi pembelajaran dan hasil penelitian yang ditawarkan kepada guru sering kali tidak melibatkan guru dalam pembentukan pengetahuan (knowledge construction) sehingga ada kecenderungan produk-produk inovasi seringkali di luar jangkauan kemampuan guru. (2) penyebarluasan (dessimination) inovasi pembelajaran dan hasil penelitian ke kalangan praktisi pendidikan di lapangan (baca; guru) sering memerlukan waktu yang lama, hal ini disebabkan karena kurang efektifnya pola atau model dessimination yang dikembangkan selama ini baik melalui seminar, penataran, maupun publikasi ilmiah akibat dari kurang termonitor dan kurang terencananya tindak lanjut selepas dari penataran atau seminar dan kurang jelasnya sasaran dan materi pembinaan (Tilaar, dkk, 1992). Disseminasi hasil penelitian dan inovasi-inovasi baru pendidikan melalui publikasi ilmiah sering kali membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, selain itu ditunjang oleh ‘budaya’ guru untuk membaca dan mencoba hasil penelitian dan inovasi yang didapat dari publikasi llmiah masih sangat rendah. Hal ini membuat ‘wajah’ pendidikan kita tidak pernah berubah mulai dari jaman kolonial sampai jaman global.

Namun demikian bukan berarti bahwa kualitas kompetensi professional guru tidak dapat ditingkatkan atau persoalan-persoalan yang dihadapi guru tidak dapat dipecahkan. Jalan pertama yang paling bijaksana untuk mengatasi hal ini adalah berusaha memotong jalur dessimination yang berliku serta membekali dan membudayakan guru cara memecahkan masalah secara mandiri sekaligus dapat meningkatkan mutu pembelajaranya. Kedua menumbuhkan rasa butuh (need oriented) pada guru untuk mampu menafsirkan dan menerapkan hasil-hasil penelitian untuk kepentingan pengajaran. Sehingga dengan demikian penafsiran dan penerapan hasil-hasil penelitian bukanlah menjadi beban ekstra bagi seorang guru, melainkan sudah merupakan suatu kebutuhan mendasar yang melekat harus di penuhi oleh seorang guru seperti halnya kebutuhan makan, minum, kasih sayang, dan lain-lain.

Salah satu solusi konkrit yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun LPTK guna membekali guru dan calon guru kemampuan memecahkan masalah pembelajaran secara mandiri adalah dengan class room action research (CAR). CAR merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantaban rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran itu dilakukan. Dengan CAR para guru memiliki peluang yang sangat besar dalam memperbaiki mutu pembelajaranya secara mandiri menurut konteksnya karena kesemuanya berangkat dari permasalahan nyata yang dialami guru di lapangan. Sehingga hasil penelitian dan inovasi pembelajaran tidak lagi di luar jangkauan pikiran guru, karena mereka yang berada di garis depan dalam pembelajaran terlibat langsung dalam proses tindakan perbaikan tersebut. Bila hal ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging bagi seorang guru maka peningkatan mutu pendidikan hanya tinggal menunggu hasil. Semoga…

Tidak ada komentar: