Kamis, 18 September 2008

HIDUP TIDAK UNTUK MENYENANGKAN SEMUA ORANG

HIDUP TIDAK UNTUK MENYENANGKAN SEMUA ORANG
KARENA KITA TIDAK MUNGKIN MENYENANGKAN SEMUA ORANG


Oleh:
Cak Baskoro Adi Prayitno


saya meminta dia untuk menarik kesimpulan berdasarkan cerita saya tentang keluarga Lukman, dia diam saja, tetapi saya dapat merasakan bahwa beban berat yang dia ’pikul’ sedikit berkurang, Dia pamit pada saya dengan menghadiahi saya sebuah senyuman dan ucapan terimakasih, dari senyuman dan kalimat terimakasih yang dia ucapkan saya dapat merasakan ada nuansa rasa yang berbeda dibandingkan dengan pertama kali dia datang. Memang kita tidak akan bisa memuaskan semua orang dan memang hidup tidak untuk memuaskan semua orang...



Beberapa hari yang lalu saya di datangi oleh salah seorang mahasiswi, dia menanyakan apa saya ada waktu untuk berbincang-bincang dengannya, karena memang kebetulan tidak ada pekerjaan di kantor, saya mempersilahkan mahasiswi tersebut duduk, pada mulanya saya mengira mahasiswi ini akan menanyakan persoalan terkait dengan matakuliah yang saya ampu, namun dugaan saya rupanya keliru, dia ’curhat’ pada saya tentang permasalahan yang menurut dia sangat mengganggunya, pada intinya mahasiswa ini bersama pacarnya memutuskan untuk menikah di usia muda untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, dan kedua orang tua kedua mahasiswa ini setuju. Setelah mereka menikah beberapa permasalahan muncul, terutama permasalahan terkait dengan desas-desus yang beredar di kalangan teman kuliah dan tentangganya bahwa dia menikah karena ’kecelakaan’ (maried by accident), dan ’gosip’ ini rupanya sangat mengganggu dia dan suaminya dan dia meminta saran saya bagaimana mengatasi permasalahan ini. (saya baru sadar menjadi seorang dosen ternyata tidak selalu berkutat dengan dunia keilmuan, kadang kala mau tidak mau kita ’terlibat’ dalam urusan ’rumah tangga’ mahasiswa-mahasiswa kita)

Saya tertegun agak lama memikirkan apa yang dapat saya sarankan kepada mahasiswi ini, paling tidak saran tersebut dapat sedikit meringankan beban dihatinya. Seingat saya, selama saya menuntut ilmu mulai dari SD sampai perguruan tinggi, saya tidak pernah dibekali ’ilmu’ atau ’jurus’ jika menghadapi persoalan semacam ini. Pikiran saya berputar-berputar sampai tiba-tiba muncul dalam benak saya tentang kisah keluarga Lukman yang pernah diceritakan oleh Bapak pada saat saya masih kecil dulu.


KISAH KELUARGA LUKMAN
Akhirnya saya menceritakan kisah keluarga Lukman kepada mahasiswi tersebut, dikisahkan Lukman sedang berjalan-jalan di pasar dengan anaknya ditemani dengan seekor keledai, dalam perjalanan orang-orang disekitar pasar saling berbisik-bisik membicarakan Lukman dan anaknya ’eh kedua orang itu benar-benar bodoh, sudah membawa keledai tapi tidak dinaiki, benar-benar orang yang bodoh’, Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang disekitarnya, akhirnya Lukman dan anaknya memutuskan menaiki keledai tersebut bersama-sama, tidak seberapa lama mereka berjalan orang-orang disekitar lukman saling berbisik-bisik kembali membicarakan Lukman dan Anaknya ’kedua orang itu benar-benar tidak punya kasihan, masak Keledai sekecil itu dinaiki berdua’ Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang tersebut dan memutuskan bahwa anaknya yang menaiki keledai sedangkan Lukman mengiringi dibelakangnya sambil berjalan kaki, tidak jauh mereka berjalan orang-orang disekitar Lukman dan anaknya berbisik-bisik membicarakan mereka berdua ”benar-benar anak durhaka...teganya membiarkan ayahnya yang sudah renta berjalan kaki sedang dia enak-enak naik keledai’ Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang ini dan memutuskan bahwa Lukman yang naik ke punggung keledai sedangkan anaknya mengiringi dibelakangnya sambil berjalan kaki, tidak jauh mereka berjalan orang-orang disekitar mereka kembali berbisik-bisik membicarakan Lukman dan anaknya ”benar-benar ayah yang egois, membiarkan anaknya yang masih kecil berjalan kaki kepanasan, sedangkan ia enak-enakan duduk diatas keledai dengan nyaman” Lukman dan anaknya mendengar bisik-bisik orang-orang disekitarnya, akhirnya mereka memutuskan mengikat kedua kaki keledai dan kemudian memikul keledai itu bersama-sama anaknya, tanpa lagi menghiraukan orang-orang disekitarnya yang menganggap mereka telah gila berjalan-jalan dengan menggendong keledai”

KITA TIDAK AKAN BISA MEMUASKAN SEMUA ORANG
Dari cerita ini, saya meminta mahasiswi tadi menarik sebuah kesimpulan, dia memang diam saja, tetapi saya dapat melihat bahwa beban berat yang dia rasakan sedikit berkurang, Dia pamit pada saya dengan menghadiahi sebuah senyuman dan ucapan terimakasih..., dari senyuman dan kalimat terimakasih yang dia ucapkan, saya dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pertama kali ketika ia meminta saya meluangkan waktu untuk mengobrol dengannya. Memang kita tidak akan bisa memuaskan dan menyenangkan semua orang, seperti cerita Lukman yang gagal mencoba memuaskan dan menyenangkan semua orang dan memang hidup tidak untuk memuaskan dan menyenangkan semua orang...

atau... ada orang yang bisa menyenangkan dan memuaskan semua orang?...

Bagaimana menurut sampean....?


Surakarta, 18 September 2008

Tidak ada komentar: