Kamis, 18 September 2008

KETIKA ILMU TIDAK ADA BEDA DENGAN SENI

KETIKA ILMU TIDAK ADA BEDA
DENGAN PUISI JOKO PIN DAN LAGU IWAN FALS


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno


Saat ini ada kecenderungan ilmu tidak ada bedanya dengan bermain gitar, menyanyi atau membaca sajak cinta, ilmu mulai kehilangan kegunaan praktis kecuali hanya nilai estetis, ilmu lebih diorientasikan kepada pemenuhan kepuasan jiwa ilmuwan daripada untuk usaha memecahkan masalah pragmatis. Ilmu menjelma menjadi pengetahuan yang harus dihafal, agar bisa dikemukakan pada saat berdebat, makin hafal teori up to date makin hebat. Kalau sudah begini ‘apa beda antara ilmu dengan puisi Joko Pin atau Lagu Iwan Fals? Kini saatnya kita kembalikan aksiologi ilmu pada tempatnya yang ”benar”.


Saya yakin banyak dari sampean bingung atau paling tidak sedikit mengernyitkan dahi dalam ’memaknai’ maksud judul di atas. Mungkin sampean bertanya-tanya, apa kaitannya ilmu dengan puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals?. Sebagian besar orang mungkin menganggap tidak ada kaitannya antara ilmu dengan Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals. Namun jika sampean seorang pencermat acara televisi, terutama acara debat dengan melibatkan ilmuan-ilmuwan ternama Indonesia, atau sampean termasuk dalam golongan orang-orang iseng yang tidak ada pekerjaan lain, selain mencermati pergeseran orientasi aksiologi ilmu di Indonesia, atau sampean seorang mahasiswa yang terbiasa melihat dan mendengar dosen-dosen dan profesor sampean yang luar biasa ketajaman berpikirnya, namun ketajaman berpikir ini tidak punya nilai praktis dalam membantu memecahkan masalah dalam dunia nyata, saya yakin sampean dapat mengetahui atau paling tidak dapat meraba maksud dan makna judul di atas. Bagi sampean yang tidak termasuk dalam ketiga golongan tersebut mari kita lihat bersama-sama apa yang mendasari saya ’berani’ mengatakan bahwa ada kecenderungan ilmu sudah tidak ada bedanya dengan Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals terutama untuk konteks Indonesia saat ini.

BUKTI PERGESERAN AKSIOLOGI ILMU
Barangkali bukan merupakan hal yang aneh jika hampir setiap hari kita melihat acara televisi menayangkan acara debat dengan menghadirkan para ilmuwan-ilmuwan ternama di negeri ini, atau kita sering menghadiri bahkan terlibat secara langsung dalam acara-acara semacam itu. Mereka para ilmuwan sambil duduk minum teh atau kopi hangat ditemani makanan ringan lainnya berdebat tentang berbagai masalah, dari masalah nuklir sampai dengan masalah anak jalanan, mereka dengan sangat lihai menyahut, menyanggah, mempertahankan pendapat dengan didasari oleh teori-teori ilmiah yang paling up to date, sangat luar biasa...mengaggumkan.... Setelah itu....? Selesai...., tidak ada manfaat praktis yang diperoleh selain tepuk tangan dan decak kagum dari peserta diskusi...cck....cck...cck...., atau sebuah kepuasan jiwa bagi ilmuwan yang telah berhasil membuktikan ketajaman berpikirnya di arena perdebatan yang menantang dan mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai seorang ilmuwan.

Kalau keadaanya sudah begini, kata Prof. Jujun, ilmu sudah tidak ada bedanya dengan bermain gitar, menyanyi atau membaca sajak cinta, ilmu tidak lagi mempunyai kegunaan praktis selain hanya kegunaan estetis, ilmu lebih ditujukan kepada pemenuhan kepuasan jiwa ilmuwan daripa memecahkan masalah praktis. Ilmu sekedar pengetahuan yang harus dihafal, agar bisa dikemukakan pada saat berdebat, makin hafal teori yang up to date maka semakin hebat. Pertanyaan selanjutnya ‘apa beda antara ilmu dengan puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals?’, coba sampean pikirkan?..., jelas tidak ada bedanya kecuali perbedaan ejaannya i-l-m-u dan s-e-n-i, serta rombongan penggemar, rombongan penggemar iwan fals melabeli dirinya OI (orang Indonesia), rombongan penggemar slank melabeli dirinya Slanker, barangkali rombongan penggemar ilmuwan melabeli kelompoknya dengan nama kaum intelek, sedangkan secara esensi nyaris tidak ada beda diantara keduanya (ilmu dengan seni).

menurut hemat saya akar masalah dari hal ini adalah 'filsafat' mereka yang cenderung memandang rendah pekerjaan-pekerjaan yang berbau praktis-pragmatis, adalah tidak pada tempatnya jika seorang ilmuwan yang terhormat memikirkan masalah-masalah yang tidak sesuai dengan status sosial mereka, apa lagi melakukan tindakan-tindakan konkret, bukankah pekerjaan praktis yang memeras keringat adalah pekerjaan kaum kuli?...

KEMBALIKAN AKSIOLOGI ILMU PADA TEMPAT SEMULA
Kita semua sepakat bahwa Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals adalah fungsional (bermanfaat) bagi kehidupan kita, Puisi Joko Pin dan Lagu Iwan Fals memberikan kenikmatan batiniah, jiwa kita tergetar, terharu, tersentuh oleh lirik dan kata-kata yang artistik menembus dunia makna yang sulit terindra. Jiwa kita bertambah kaya, persepsi kita bertambah luas, diri kita bertambah dewasa dan boleh jadi hal ini akan merubah sikap dan perilaku kita menjadi lebih bijaksana. memang kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak karya sastra dan lagu (seni) mampu mengubah sebuah peradaban di dunia ini.

Namun demikian harus tetap disadari, terdapat perbedaan fungsi antara seni dan ilmu, Lagu Iwan Fals mungkin menyadarkan kita tentang permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di negara kita, mungkin dengan lagu itu jiwa kita tergetar, menyadarkan kita bahwa sangat banyak permasalahan sosial disekitar kita, namun yang jelas kita tidak bisa memecahkan masalah sosial tersebut hanya dengan jiwa yang tergetar atau hanya dengan sekedar bernyanyi menyandang gitar. Ilmuwan perlu melakukan tindakan-tindakan konkret, tentu saja bukan dengan membentuk boy band atau vocal group melainkan melakukan kegiatan fungsional prakmatis berdasarkan keilmuan yang mereka miliki, bukan hanya sekedar berdebat tanpa manfaat praktis, kecuali hanya sekedar tepuk tangan atau decak kagum penonton (baca: peserta debat/diskusi) atas ketajaman berpikir mereka, sebagaimana ketika Joko Pin membacakan Puisi atau Iwan Fals menyanyikan lagu di hadapan para penggemarnya yang juga diiringi tepuk tangan dan decak kekaguman...

Menyitir Tulisan Prof Jujun, buku teks ilmuwan itu seharusnya tidak jauh berbeda dengan buku Primbon dukun ramal yang digunakan untuk konsultasi masalah praktis, tentu saja yang membedakan diantara keduanya adalah asas dan prosedurnya, jika ilmuwan buku primbonnya berdasarkan asas dan prosedur ilmu (metode ilmu/ilmiah), sedangkan primbon dukun asas dan prosedurnya didasarkan pada metode ngelmu/klenik. Kadang kala saya berpikir, barangkali maraknya iklan per-klenikkan yang membanjiri media masa kita, serta kecenderungan semakin banyaknya orang mendatangi dukun/paranormal untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidup mereka, salah satunya disebabkan kegagalan para 'dukun ilmiah' ini (baca: ilmuwan) 'membumikan' teori-teori keilmuwan mereka, banyak dari mereka terjebak dengan hanya puas hanya sekedar tajam berpikir, tangguh ketika berdebat, namun 'impoten'ketika dihadapkan kepada kegiatan pemecahan masalah praktis.

Mungkin sampean menganggap saya sebagai seorang pragmatis, anggapan sampean barangkali ada benarnya, kalau kita mau berpikir lebih dalam, sebenarnya ilmu itu dikembangkan untuk apa? membantu mempermudah ’kehidupan’ manusia bukan?...

Ada Ilmuwan yang mau konser bareng dengan Iwan Fals atau Joko Pin?, sekedar membandingkan, tepuk tangan untuk siapa yang lebih meriah...

Bagaimana pendapat sampean?...


Malang-Surakarta, 17-18 September 2008

PBIO/FKIP UNS Surakarta
baskoro_ap@uns.ac.id, baskoro_ap@telkom.net
www.baskoro1.blogspot.com

HIDUP TIDAK UNTUK MENYENANGKAN SEMUA ORANG

HIDUP TIDAK UNTUK MENYENANGKAN SEMUA ORANG
KARENA KITA TIDAK MUNGKIN MENYENANGKAN SEMUA ORANG


Oleh:
Cak Baskoro Adi Prayitno


saya meminta dia untuk menarik kesimpulan berdasarkan cerita saya tentang keluarga Lukman, dia diam saja, tetapi saya dapat merasakan bahwa beban berat yang dia ’pikul’ sedikit berkurang, Dia pamit pada saya dengan menghadiahi saya sebuah senyuman dan ucapan terimakasih, dari senyuman dan kalimat terimakasih yang dia ucapkan saya dapat merasakan ada nuansa rasa yang berbeda dibandingkan dengan pertama kali dia datang. Memang kita tidak akan bisa memuaskan semua orang dan memang hidup tidak untuk memuaskan semua orang...



Beberapa hari yang lalu saya di datangi oleh salah seorang mahasiswi, dia menanyakan apa saya ada waktu untuk berbincang-bincang dengannya, karena memang kebetulan tidak ada pekerjaan di kantor, saya mempersilahkan mahasiswi tersebut duduk, pada mulanya saya mengira mahasiswi ini akan menanyakan persoalan terkait dengan matakuliah yang saya ampu, namun dugaan saya rupanya keliru, dia ’curhat’ pada saya tentang permasalahan yang menurut dia sangat mengganggunya, pada intinya mahasiswa ini bersama pacarnya memutuskan untuk menikah di usia muda untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, dan kedua orang tua kedua mahasiswa ini setuju. Setelah mereka menikah beberapa permasalahan muncul, terutama permasalahan terkait dengan desas-desus yang beredar di kalangan teman kuliah dan tentangganya bahwa dia menikah karena ’kecelakaan’ (maried by accident), dan ’gosip’ ini rupanya sangat mengganggu dia dan suaminya dan dia meminta saran saya bagaimana mengatasi permasalahan ini. (saya baru sadar menjadi seorang dosen ternyata tidak selalu berkutat dengan dunia keilmuan, kadang kala mau tidak mau kita ’terlibat’ dalam urusan ’rumah tangga’ mahasiswa-mahasiswa kita)

Saya tertegun agak lama memikirkan apa yang dapat saya sarankan kepada mahasiswi ini, paling tidak saran tersebut dapat sedikit meringankan beban dihatinya. Seingat saya, selama saya menuntut ilmu mulai dari SD sampai perguruan tinggi, saya tidak pernah dibekali ’ilmu’ atau ’jurus’ jika menghadapi persoalan semacam ini. Pikiran saya berputar-berputar sampai tiba-tiba muncul dalam benak saya tentang kisah keluarga Lukman yang pernah diceritakan oleh Bapak pada saat saya masih kecil dulu.


KISAH KELUARGA LUKMAN
Akhirnya saya menceritakan kisah keluarga Lukman kepada mahasiswi tersebut, dikisahkan Lukman sedang berjalan-jalan di pasar dengan anaknya ditemani dengan seekor keledai, dalam perjalanan orang-orang disekitar pasar saling berbisik-bisik membicarakan Lukman dan anaknya ’eh kedua orang itu benar-benar bodoh, sudah membawa keledai tapi tidak dinaiki, benar-benar orang yang bodoh’, Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang disekitarnya, akhirnya Lukman dan anaknya memutuskan menaiki keledai tersebut bersama-sama, tidak seberapa lama mereka berjalan orang-orang disekitar lukman saling berbisik-bisik kembali membicarakan Lukman dan Anaknya ’kedua orang itu benar-benar tidak punya kasihan, masak Keledai sekecil itu dinaiki berdua’ Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang tersebut dan memutuskan bahwa anaknya yang menaiki keledai sedangkan Lukman mengiringi dibelakangnya sambil berjalan kaki, tidak jauh mereka berjalan orang-orang disekitar Lukman dan anaknya berbisik-bisik membicarakan mereka berdua ”benar-benar anak durhaka...teganya membiarkan ayahnya yang sudah renta berjalan kaki sedang dia enak-enak naik keledai’ Lukman dan anaknya mendengar omongan orang-orang ini dan memutuskan bahwa Lukman yang naik ke punggung keledai sedangkan anaknya mengiringi dibelakangnya sambil berjalan kaki, tidak jauh mereka berjalan orang-orang disekitar mereka kembali berbisik-bisik membicarakan Lukman dan anaknya ”benar-benar ayah yang egois, membiarkan anaknya yang masih kecil berjalan kaki kepanasan, sedangkan ia enak-enakan duduk diatas keledai dengan nyaman” Lukman dan anaknya mendengar bisik-bisik orang-orang disekitarnya, akhirnya mereka memutuskan mengikat kedua kaki keledai dan kemudian memikul keledai itu bersama-sama anaknya, tanpa lagi menghiraukan orang-orang disekitarnya yang menganggap mereka telah gila berjalan-jalan dengan menggendong keledai”

KITA TIDAK AKAN BISA MEMUASKAN SEMUA ORANG
Dari cerita ini, saya meminta mahasiswi tadi menarik sebuah kesimpulan, dia memang diam saja, tetapi saya dapat melihat bahwa beban berat yang dia rasakan sedikit berkurang, Dia pamit pada saya dengan menghadiahi sebuah senyuman dan ucapan terimakasih..., dari senyuman dan kalimat terimakasih yang dia ucapkan, saya dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pertama kali ketika ia meminta saya meluangkan waktu untuk mengobrol dengannya. Memang kita tidak akan bisa memuaskan dan menyenangkan semua orang, seperti cerita Lukman yang gagal mencoba memuaskan dan menyenangkan semua orang dan memang hidup tidak untuk memuaskan dan menyenangkan semua orang...

atau... ada orang yang bisa menyenangkan dan memuaskan semua orang?...

Bagaimana menurut sampean....?


Surakarta, 18 September 2008