PENGEMBANGAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN KITA
Oleh:
Cak Baskoro
Cak Baskoro
Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Jadi jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building, karena kita sendiri yang telah mencampakannya dalam tong sampah…untuk jadi santapan Anjing!!!
Saya sungguh merasa sangat sedih dan perihatin melihat berbagai peristiwa yang secara berulang ditulis dan ditayangkan oleh media massa, seolah-olah ‘dirumah kita’ tercinta ini sudah tidak ada hari tanpa ‘kekerasan’, tiada hari tanpa demonstrasi yang diakhiri dengan anarkhisme. Kita dulu dikenal sebagai bangsa yang sopan dan ramah, kini berubah menjadi bangsa yang beringas dan mudah marah tidak ada bedanya dengan sosok penyandang kelainan retardasi mental, yang cenderung akan menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya. Baru saja saya melihat tayangan di televisi tentang demonstrasi anarkhis berujung pada kematian ketua DPRD Sumut terkait dengan pembentukan propinsi tapanuli.
Terkait dengan hal ini, saya berpikir pasti ada yang salah, atau paling tidak ada sesuatu nilai-nilai yang dulu pernah kita miliki tergerus (kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali) dari diri kita, dan nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai vital yang mengantarkan kita kepada kebijaksanaan memahami dan menerima segala perbedaan.
Saya teringat dengan ucapan Bung Karno, bahwa bangsa ini perlu membangun watak bangsa (caracter building), terlepas ucapan Bung Karno itu dalam konteks politik, namun paling tidak ucapan itu menyadarkan kita bahwa keragaman ‘di dalam rumah kita’ berpotensi menjadi bom waktu yang siap meledak, ketika watak bangsa ini tidak diperhatikan dan digarap dengan baik.
Ungkapan tentang character building saat ini, sering kali kita dengar, diucapkan para politisi, birokrat, pemimpin organisasi, dengan teori yang ‘berbusa-busa’, mengenai tentang pentingnya pendidikan karakter untuk ‘merehabilitasi’ modal sosial yang telah tergerus dari diri kita. Namun bagi saya, ungkapan-ungkapan ini sudah klise kosong, nyaris tak bermakna. Saat ini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata tersebut, berlalu begitu saja tidak pernah singgah di dalam otak apalagi hati saya (kalau tidak boleh dikatakan muak).
Barangkali sampean menganggap saya seorang pesimistis yang selalu menilai negatif terhadap sesuatu. Untuk beberapa hal, penilaian sampean barangkali benar. Namun yang perlu sampean ketahui pesimistis saya bukan tanpa alasan.
Ketika ungkapan tentang pengembangan karakter diucapkan oleh Bung Karno dan Ki Hadjar Dewantoro dari taman siswa, ungkapan ini begitu meninggalkan bekas yang mendalam dalam hati saya. Ungkapan itu begitu menghidupkan harapan besar dalam hati saya. Saya teringat bagaimana Ki Hadjar Dewantoro memaknai kata tersebut dalam konteks pedagogik –bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain pintar juga menjadi manusia yang berkarakter-, yang kemudian kita kenal dengan konsep cipta, rasa dan karsa.
Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Kita Saat Ini
Barangkali banyak dari sampean sepakat masalah caracter building masih merupakan permasalahan besar bahkan sangat amat besar. Segala penyimpangan, penyelewengan dan kebobobrokan yang kita rasakan saat ini lahir dari lemahnya karakter (watak) pada diri kita. Saya kadang kala berpikir barangkali Machiaveli benar mengatakan bahwa ’orang baik akan hancur oleh sekelompok orang yang tidak baik’. Namun hati kecil saya percaya bahwa orang baik dan jujur masih cukup banyak di negara ini, namun saat ini mereka tidak berdaya mengahadapi kelompok kecil manusia Indonesia yang korup yang bersembunyi pada kekuaasaan atau membonceng pada kekuasaan.
Pertanyaannya adalah; mengapa karakter (watak) kita lemah?, apakah kita tidak pernah mendapatkan pendidikan watak?, apa yang salah dengan pendidikan watak kita?, Jawabanya Banyak Sekali...!!, jawaban inilah yang mendasari pesimisme saya. Marilah kita uraikan satu persatu permasalahan-permasalahan terkait dengan pendidikan watak?.
Pesan pendidikan watak barangkali dititipkan pada pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau barangkali malah pelajaran budi pekerti. Sekarang marilah kita lihat apa yang diajarkan oleh pelajaran-pelajaran tersebut?, kita harus jujur mengakui bahwa program utamanya hanya terorientasi pada nilai-nilai kognitif semata, atau paling luar biasa, sedikit menyentuh sampai pada aspek afektif. Pendidikan watak seharusnya tidak hanya berhenti sampai pada aspek itu saja, yang lebih penting dari itu adalah kearah pembentukan perilaku. Pendidikan watak harus dimulai dari gnosis sampai praksis istilah pedagogiknya..
Di sisi lain secara teoritis, seorang ahli ilmu psikologi Fishbein meyatakan sumbangan efektif pengetahuan (kognitif) dan sikap (afektif) terhadap perilaku sangatlah kecil, seringkali terjadi inkonsistensi pengetahuan, sikap dengan perilaku seseorang. Untuk memperkuat argumen ini saya ambil contoh kasus ’saya seorang perokok, saya tahu tentang bahaya merokok, seandainya saya diberikan test pengetahuan dan sikap tentang bahaya rokok saya yakin mendapat nilai yang baik, namun mengapa sampai saat ini saya tetap merokok’
Mengantarkan anak sampai pada tahap praksis (pembentukan perilaku) tidaklah semudah meningkatkan aspek kognitif dan afektif, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk mengamalkan nilai, perasaan merasa mempunyai harga diri yang tinggi setelah mengamalkan nilai. Oleh Ki Hadjar Dewantoro diterjemahkan dengan cipta, rasa dan karsa. Maqom tertinggi keberhasilan pendidikan watak adalah kesukarelaan anak untuk mengikatkan diri pada nilai (voluntary personal commitment to values).
Sekarang marilah kita lihat cara bangsa ini melaksanakan pendidikan watak?, karena pendidikan watak kita terorientasi pada aspek kognitif sedikit menyentuh aspek afektif, dan melupakan aspek praksis, maka segi evaluasi juga terorientasi pada aspek-aspek tersebut (kognitif sedikit afektif). Mengetahui kemajuan anak dari aspek kognitif sangatlah mudah di lakukan.
Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Marilah kita lihat, berapa mata pelajaran yang diujikan dalam UAN (terlepas pro dan kontra terhadap UAN), hanya tiga mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah menganggap pendidikan watak bagi bangsa kita ini tidak penting?, kalau kita tanya kepada guru tentang pendidikan watak, mereka akan menjawab ‘soal-soal tentang karakter/watak kan tidak ditanyakan dalam UAN mengapa menghabiskan waktu untuk yang tidak perlu”. Kebijakan pendidikan kita telah ‘menganak tirikan’ (kalau tidak boleh dikatakan menguburkan) pendidikan watak.
Jadi... Jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building..., karena kita sendiri yang telah mencampakkanya dalam tong sampah…untuk jadi santapan anjing !!!
Sebuah syair lagu Iwan Fals, yang menemani saya ketika menulis hal ini, patut jadi renungan....
Jangan Bicara Soal Nasionalisme...
.....................................................
Jangan Bicara Soal Keadilan....
....................................................
Marilah Kita Bicara Tentang.....
...................................................
Kita yang Lupa dengan Warna Bendera Kita Sendiri..
Bagaimana Menurut Sampean??...
Salam.
Baskoro Adi Prayitno
Srondol Semarang 11 Februari 2009
Pukul: 24.45
Dedicated To My Angel
Terkait dengan hal ini, saya berpikir pasti ada yang salah, atau paling tidak ada sesuatu nilai-nilai yang dulu pernah kita miliki tergerus (kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali) dari diri kita, dan nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai vital yang mengantarkan kita kepada kebijaksanaan memahami dan menerima segala perbedaan.
Saya teringat dengan ucapan Bung Karno, bahwa bangsa ini perlu membangun watak bangsa (caracter building), terlepas ucapan Bung Karno itu dalam konteks politik, namun paling tidak ucapan itu menyadarkan kita bahwa keragaman ‘di dalam rumah kita’ berpotensi menjadi bom waktu yang siap meledak, ketika watak bangsa ini tidak diperhatikan dan digarap dengan baik.
Ungkapan tentang character building saat ini, sering kali kita dengar, diucapkan para politisi, birokrat, pemimpin organisasi, dengan teori yang ‘berbusa-busa’, mengenai tentang pentingnya pendidikan karakter untuk ‘merehabilitasi’ modal sosial yang telah tergerus dari diri kita. Namun bagi saya, ungkapan-ungkapan ini sudah klise kosong, nyaris tak bermakna. Saat ini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata tersebut, berlalu begitu saja tidak pernah singgah di dalam otak apalagi hati saya (kalau tidak boleh dikatakan muak).
Barangkali sampean menganggap saya seorang pesimistis yang selalu menilai negatif terhadap sesuatu. Untuk beberapa hal, penilaian sampean barangkali benar. Namun yang perlu sampean ketahui pesimistis saya bukan tanpa alasan.
Ketika ungkapan tentang pengembangan karakter diucapkan oleh Bung Karno dan Ki Hadjar Dewantoro dari taman siswa, ungkapan ini begitu meninggalkan bekas yang mendalam dalam hati saya. Ungkapan itu begitu menghidupkan harapan besar dalam hati saya. Saya teringat bagaimana Ki Hadjar Dewantoro memaknai kata tersebut dalam konteks pedagogik –bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain pintar juga menjadi manusia yang berkarakter-, yang kemudian kita kenal dengan konsep cipta, rasa dan karsa.
Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Kita Saat Ini
Barangkali banyak dari sampean sepakat masalah caracter building masih merupakan permasalahan besar bahkan sangat amat besar. Segala penyimpangan, penyelewengan dan kebobobrokan yang kita rasakan saat ini lahir dari lemahnya karakter (watak) pada diri kita. Saya kadang kala berpikir barangkali Machiaveli benar mengatakan bahwa ’orang baik akan hancur oleh sekelompok orang yang tidak baik’. Namun hati kecil saya percaya bahwa orang baik dan jujur masih cukup banyak di negara ini, namun saat ini mereka tidak berdaya mengahadapi kelompok kecil manusia Indonesia yang korup yang bersembunyi pada kekuaasaan atau membonceng pada kekuasaan.
Pertanyaannya adalah; mengapa karakter (watak) kita lemah?, apakah kita tidak pernah mendapatkan pendidikan watak?, apa yang salah dengan pendidikan watak kita?, Jawabanya Banyak Sekali...!!, jawaban inilah yang mendasari pesimisme saya. Marilah kita uraikan satu persatu permasalahan-permasalahan terkait dengan pendidikan watak?.
Pesan pendidikan watak barangkali dititipkan pada pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau barangkali malah pelajaran budi pekerti. Sekarang marilah kita lihat apa yang diajarkan oleh pelajaran-pelajaran tersebut?, kita harus jujur mengakui bahwa program utamanya hanya terorientasi pada nilai-nilai kognitif semata, atau paling luar biasa, sedikit menyentuh sampai pada aspek afektif. Pendidikan watak seharusnya tidak hanya berhenti sampai pada aspek itu saja, yang lebih penting dari itu adalah kearah pembentukan perilaku. Pendidikan watak harus dimulai dari gnosis sampai praksis istilah pedagogiknya..
Di sisi lain secara teoritis, seorang ahli ilmu psikologi Fishbein meyatakan sumbangan efektif pengetahuan (kognitif) dan sikap (afektif) terhadap perilaku sangatlah kecil, seringkali terjadi inkonsistensi pengetahuan, sikap dengan perilaku seseorang. Untuk memperkuat argumen ini saya ambil contoh kasus ’saya seorang perokok, saya tahu tentang bahaya merokok, seandainya saya diberikan test pengetahuan dan sikap tentang bahaya rokok saya yakin mendapat nilai yang baik, namun mengapa sampai saat ini saya tetap merokok’
Mengantarkan anak sampai pada tahap praksis (pembentukan perilaku) tidaklah semudah meningkatkan aspek kognitif dan afektif, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk mengamalkan nilai, perasaan merasa mempunyai harga diri yang tinggi setelah mengamalkan nilai. Oleh Ki Hadjar Dewantoro diterjemahkan dengan cipta, rasa dan karsa. Maqom tertinggi keberhasilan pendidikan watak adalah kesukarelaan anak untuk mengikatkan diri pada nilai (voluntary personal commitment to values).
Sekarang marilah kita lihat cara bangsa ini melaksanakan pendidikan watak?, karena pendidikan watak kita terorientasi pada aspek kognitif sedikit menyentuh aspek afektif, dan melupakan aspek praksis, maka segi evaluasi juga terorientasi pada aspek-aspek tersebut (kognitif sedikit afektif). Mengetahui kemajuan anak dari aspek kognitif sangatlah mudah di lakukan.
Jika kita lihat dari ’kaca mata’ ini, saya mendapat kesan pendidikan watak di sekolah kita benar-benar kacau dan amburadul, terkesan kita tidak benar sunguh-sungguh melaksanakan pendidikan watak. Marilah kita lihat, berapa mata pelajaran yang diujikan dalam UAN (terlepas pro dan kontra terhadap UAN), hanya tiga mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah menganggap pendidikan watak bagi bangsa kita ini tidak penting?, kalau kita tanya kepada guru tentang pendidikan watak, mereka akan menjawab ‘soal-soal tentang karakter/watak kan tidak ditanyakan dalam UAN mengapa menghabiskan waktu untuk yang tidak perlu”. Kebijakan pendidikan kita telah ‘menganak tirikan’ (kalau tidak boleh dikatakan menguburkan) pendidikan watak.
Jadi... Jangan ngomong lagi tentang pendidikan watak.... Jangan Ngomong Lagi tentang Nation and Caracter Building..., karena kita sendiri yang telah mencampakkanya dalam tong sampah…untuk jadi santapan anjing !!!
Sebuah syair lagu Iwan Fals, yang menemani saya ketika menulis hal ini, patut jadi renungan....
Jangan Bicara Soal Nasionalisme...
.....................................................
Jangan Bicara Soal Keadilan....
....................................................
Marilah Kita Bicara Tentang.....
...................................................
Kita yang Lupa dengan Warna Bendera Kita Sendiri..
Bagaimana Menurut Sampean??...
Salam.
Baskoro Adi Prayitno
Srondol Semarang 11 Februari 2009
Pukul: 24.45
Dedicated To My Angel
1 komentar:
"Someone finds salvation in everyone
And another only pain
Someone tries to hide himself
Down inside himself he prays
Someone swears his true love
Untill the end of time
Another runs away
Separate or united?
Healthy or insane?
To be yourself is all that you can do
To be yourself is all that you can do"
(Be Yourself - Audioslave)
Posting Komentar