Jumat, 12 Juni 2009

AKHIRNYA BENCANA ITU DATANG JUGA

AKHIRNYA BENCANA ITU DATANG JUGA
(Mengurai Sesuatu yang Terlupakan dari Perdebatan Perlu Tidaknya Unas Diulang di Bebarap Sekolah)



Oleh:
Cak Baskoro


Terlepas dari pro dan kontra mengenai permasalahan ini, ada satu hal yang menurut saya terlupakan atau sengaja dilupakan oleh kita, yaitu menjawab sebuah pertanyaan lanjutan “mengapa banyak siswa kita tidak lulus Unas?”. Barangkali pertanyaan tersebut sangat sederhana. Saking sederhananya pertanyaan tersebut seringkali memancing orang memberikan jawaban yang tak kalah lebih sederhana. Jawaban yang sederhana ini kemudian akan mengantarkan kita pada konstruksi solusi yang juga sederhana, tidak mendalam, cenderung lebih terorientasi pada usaha pemecahan masalah sesaat, dan tidak pernah menyentuh pada akar masalah.Jika hal ini yang terjadi, bersiap-siaplah bencana lebih besar segera menyusul.


Akhirnya bencana itu datang juga, betapa tidak ada sekitar 5000 siswa yang tersebar di 34 SMA dan 19 SMP seluruh nusantara tidak lulus ujian nasional (Jawa Pos 6/6/09), dan mereka saat ini sedang menunggu keputusan BSNP apakah mereka bisa mengikuti ujian ulang atau tidak (baca kasus satu sekolah SMA di ngawi, madiun, dan daerah lain tidak lulus unas). Di sisi lain banyak kalangan (termasuk perguruan tinggi) menolak tegas pelaksanaan ujian ulang untuk mereka. Terlepas dari pro dan kontra mengenai permasalahan ini, ada satu hal yang menurut saya terlupakan atau sengaja dilupakan oleh kita yaitu menjawab sebuah pertanyaan lanjutan “mengapa banyak siswa kita yang tidak lulus Unas?”. Barangkali pertanyaan tersebut terlihat sangat sederhana, namun sebenarnya mempunyai makna yang dalam. Saking sederhananya pertanyaan di atas seringkali memancing kita memberikan jawaban yang juga sederhana. Jawaban yang sederhana ini kemudian akan mengantarkan kita pada konstruksi solusi yang juga sederhana, tidak mendalam, dan cenderung terorientasi pada usaha pemecahan masalah sesaat, dan tidak pernah menyentuh pada akar masalah.
Terkait dengan hal di atas, mari kita lihat bersama apa yang diperdebatkan oleh kalangan yang mengaku ahli dalam bidang pendidikan atas tidak lulusnya 5000 siswa?, mereka meributkan perlu tidaknya ujian ulang bagi siswa, mereka meributkan kasus ini disebabkan oleh ketidak jujuran guru, sebuah pertanyaan lanjutan yang perlu dikembangkan terkait dengan hal ini “apa jaminan bahwa masalah ini tidak terulang di tahun-tahun mendatang?”. Kalau memang benar disebabkan ketidak jujuran guru, perlu dilanjutkan lagi dengan sebuah pertanyaan “mengapa guru tidak jujur?”. Saya sepakat bahwa nasib 5000 siswa korban kebijakan Unas diperhatikan, namun lebih dari itu diperlukan solusi untuk menjamin bahwa permasalahan ini tidak terulang di tahun mendatang.

Akar Masalah yang Tak Tersentuh Itu

Dalam tulisan saya sebelumnya (Ujian Nasional: Evaluasi yang Perlu di Evaluasi) dijelaskan bahwa kemunculan Unas tidak terlepas dari pengejewantahan paham ”semua dapat diukur” yang kemudian berkembang menjadi ”semua dapat distandarisasi”. Karena semua dapat distandarisasi (termasuk pendidikan) maka dalam pendidikan dipandang perlu dibuat standar secara nasional, yang kemudian kita kenal standar nasional pendidikan. Saat ini kita mengenal ada delapan standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), yaitu; 1) standar isi, 2) standar proses, 3) standar kompetensi lulusan, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pembiayaan, 7) standar pengelolaan, dan 8) standar penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan ini menjadi ’kendali mutu’ pendidikan nasional.


Sebagai sebuah ’patokan’ kendali mutu pendidikan nasional diperlukan evaluasi berkala ’ketercapaian’ salah satu alat evaluasi tersebut adalah Unas. Sebuah pertanyaan (terkait dengan evaluasi unas) ’jika dalam evaluasi tersebut diketahui bahwa sebagian besar siswa tidak mencapai standar yang ditetapkan, apa artinya?”, untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya tidak diperlukan Ijazah doktor atau profesor atau dengan kata lain akal sehat sederhana kita bisa menduga ”pasti dari delapan standar yang dibuat belum terpenuhi dengan baik” (tentu saja kalau kita setuju bahwa muara dari ke delapan standar di atas adalah kemampuan kognitif siswa). Sebuah pertanyaan lanjutan ”apa yang perlu kita pikirkan terkait dengan hal ini?” tentu saja pemenuhan ke delapan standar nasional di maksud untuk seluruh wilayah nasional Indonesia, kalau tidak kasus ini pasti akan terus terulang dari tahun ke tahun. Mempermasalahkan siswa yang tidak lulus unas perlu diulang atau tidak, menurut saya penting namun yang lebih penting adalah rekonstruksi solusi pemenuhan kedelapan standar tersebut merata secara nasional.


Unas Sebagai Penentu Kelulusan Siswa: Kebijakan yang Kebablasan

Dalam sebuah acara diskusi seminar tentang perlu tidaknya Unas, seorang rekan yang pro unas sebagai penentu kelulusan menunjukkan list negara-negara maju yang menyelenggarakan ujian nasional yang mirip dengan unas di Indonesia, termasuk dalam hal ini ’kiblat’ pendidikan nasional kita Amerika Serikat. Namun sesungguhnya ada yang terlupakan oleh rekan kita ini, hampir sebagian besar ujian nasional di negara-negara maju tidak digunakan sebagai ’hakim’ penentu kelulusan siswa secara nasional, penentu kelulusan sebagian besar ada ditangan sekolah.


Terkait dengan hal ini, sebenarnya saya ingin menyatakan bahwa di negara-negara maju, unas lebih ditempatkan sebagai usaha pemetaan kualitas pendidikan nasional. Peta kualitas pendidikan ini strategis bagi pemerintah untuk menyusun strategi pendidikan di tahun berikutnya, daerah mana yang perlu penanganan serius, daerah mana yang sudah memenuhi standar mutu nasional pendidikan. Dengan kata lain dengan diketahuinya peta kualitas pendidikan ini membantu pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan.


Ketika tujuan mulia Unas ini diterapkan secara kebablasan (salah satunya digunakan sebagai penentu kelulusan siswa) yang terjadi kemudian adalah bukan peta mutu pendidikan nasional yang valid yang diperoleh oleh pemerintah melainkan hanya peta mutu pendidikan nasional yang sulit untuk dipercaya oleh akal sehat. Bagaimana tidak?, tiap daerah, sekolah berlomba-lomba ingin membuktikan bahwa daerahnya ’bebas’ dari siswa yang tidak lulus unas. Di satu sisi ’semangat’ ini menurut saya sangat baik, namun seringkali semangat ini berubah menjadi sesuatu ’monster’ yang sangat menyeramkan bagi dunia pendidikan. Diss-orientasi pembelajaran dianggap sebagai sebuah hal yang wajar, tanpa merasa bersalah pejabat publik (walikota, gurbenur, bahkan guru) menyatakan ”untuk mendongkrak nilai Unas, siswa diwajibkan mengikuti bimbingan belajar”. Bimbingan belajar di maksud, realitanya sebenarnya adalah bimbingan tes. Siswa setiap hari berlatih menyelesaikan test yang diprediksi keluar waktu unas. Pembelajaran yang memiliki makna luhur ’dibonsai’ sekedar ”teaching for test” (baca tulisan saya tentang Unas: Evaluasi yang perlu di evaluasi) Sebagai seorang yang memilki background keilmuan pendidikan, saya merasa sangat prihatin. Kalau demikian sekolah sudah tidak diperlukan lagi, ganti saja semua dengan bimbingan tes. Orang yang masih waras pasti menyatakan ’tidak akan pernah unit gawat darurat menggantikan rumah sakit bukan?’.


Monster lain yang lebih menyeramkan terkait digunakannya unas sebagai penentu kelulusan siswa adalah munculnya ’budaya ketidak jujuran’ di kalangan guru, diknas dan semua yang terlibat dalam ”ke-unasan”. Saya berani menyatakan ini bukan hanya isapan jempol, banyak fakta-fakta yang tidak bisa dipungkiri terkait dengan hal ini, seperti laporan air mata guru, pengakuan kawan saya sebagai guru, pengakuan kawan saya sebagai pengawas idependen, dan jangan lupa saya beberapa kali terlibat dalam kepengawasan independen unas, jadi paling tidak saya sedikit tahu modus ’ketidak jujuran” dalam unas. Beberapa kasus ketidak jujuran ditangani oleh polisi.


Menurut saya penganganan kasus ketidak jujuran semacam ini, tidak pernah menyelasaikan masalah, buktinya tiap tahun selalu terulang dan modusnya semakin lebih canggih. Mengapa tidak pernah menyelesaikan masalah?, karena kelulusan siswa sampai 100% merupakan ’kehormatan’ sekolah bahkan daerah. Demi kehormatan semua harus dilakukan, tidak peduli benar atau salah.


Ajang pembuktian ’kehormatan’ sekolah dan daerah bebas dari siswa tidak lulus sekolah, yang harusnya di sikapi postif oleh sekolah dan pemerintah daerah dengan usaha-usaha peningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran di sekolah melalui kegiatan pemenuhan ke delapan standar nasional pendidikan. Di reduksi dengan kepentingan sesaat yang dilandasi dengan logika yang sangat prakmatis ”yang penting siswa lulus unas” solusinya adalah menge-drill siswa dengan soal-soal yang setipe dengan unas dan atau ’membantu’ mengerjakan soal unas siswa. Menurut saya benar-benar mencemaskan, alih-alih mendapatkan peta mutu pendidikan nasional yang valid yang terjadi justru diperolehnya peta kecurangan dan peta ’matinya’ pendidikan nasional.


Malang, 13 Juni 2009
Sangat Prihatin,


Baskoro Adi Prayitno
FKIP UNS Surakarta
Dedicated to my Angels


Tidak ada komentar: