PENELITIAN TINDAKAN KELAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
(Mengurai Kebenaran Temuan Penelitian Tindakan Kelas)
Oleh:
Baskoro Adi Prayitno
Pendahuluan
Pembahasan tentang keterbatasan dari macam-macam metode penelitian selamanya sangat menarik untuk dibicarakan. Karena sadar atau tidak sadar kehidupan ini hanya diatur oleh dua hal yaitu ilmu dan agama. Ilmu secara praktis diperoleh dengan menggunakan metode ilmu (metode ilmiah), yang dalam tataran praktisnya lebih kita kenal dengan nama metode penelitian. Sementara agama merupakan wahyu dari Tuhan yang kita yakini/imani saja kebenarannya tanpa perlu meragukannya.
Kritik-kritik terhadap keterbatasan metode penelitian, barangkali sudah muncul sejak metode penelitian pertama kali dilahirkan, karena metode penelitian ini yang ‘digadang-gadang’ menjadi salah satu tumpuan akhir bagi manusia dalam mencari kebenaran, menghampiri dan mengenali realitas fisik dunia yang berterima secara universal. Dalam catatan sejarah perkembangan metode ilmu, banyak para cendikiawan mengkritisi tentang keterbatasan-keterbatasan metode-metode ilmu, mulai dari skeptisme-nya Hume, falsifikasi-nya Popper, Penolakan Khun terhadap tentang objektivitas murni, kritik Feyeraben terhadap superioritas metode sains, sampai dengan ‘jatuhnya’ dominasi Newton-nian oleh teori relativitas Einstein pada abad 20-an. Terinspirasi dengan tokoh-tokoh tersebut, saya (agar kelihatan smart seperti tokoh-tokoh tersebut JJ, walaupun sebenarnya cupu..J) ikut-ikutan mengkritisi salah satu metode penelitian yang saat ini menjadi ‘primadona’ dalam kluster pendidikan.
Semua orang yang mengaku ahli dalam kluster pendidikan pasti sepakat bahwa metode penelitian yang saat ini sedang menjadi ‘primadona’ adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau dalam bahasa jawa-lumajangan (saya orang Lumajang) biasa disebut dengan Classroom Action Research (bagi saudara yang tidak tahu ‘makanan’ apa itu PTK, santai saja…pada bagian selanjutnya saya ulas secara singkat apa itu PTK, kalau mau tahu lebih banyak…Beli Dong Buku…JJ). Saat ini banyak peneliti-peneliti dalam bidang pendidikan berlomba-lomba melakukan penelitian dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas. Kalau kita coba membaca dalam setiap laporan/artikel hasil penelitian yang telah mereka laksanakan seringkali peneliti menyimpulkan bahwa, misalkan ‘penggunaan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa’. Pertanyaan selanjutnya apakah statement kesimpulan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah?. Kesimpulan dari sebuah penelitian dapat dianggap “benar” secara ilmiah wajib memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu harus dicari dengan metode ilmu (metode ilmiah) bukan dengan menggunakan metode ngelmu (JJ). Dalam tulisan ini saya mencoba ‘mengurai’ kebenaran temuan penelitian tindakan kelas ini, sejatinya layak disebut “benar” secara ilmiah atau tidak?
Saya bukan orang yang ‘anti pati’ terhadap metodologi Penelitian Tindakan Kelas (PTK), saya beberapa kali telah melakukan penelitian tindakan kelas (sumpah..Broo..JJ), bahkan dibiayai Dikti lagi, dan beberapa hasilnya diterbitkan di jurnal ilmiah nasional (saya kelihatan pinter tidak? JJ). Perlu saudara ketahui, saya setuju seribu satu persen dengan pendapat Feyerabend dan Khun bahwa kita tidak perlu membatasi diri hanya pada satu metoda untuk meraih pengetahuan, kita tidak boleh melarang upaya-upaya intelektual masa depan dengan membatasi hanya pada satu paradigma sempit menggunakan “model-model penelitian fisika (metode ilmiah maksudnya)”
Pada tulisan ini saya hanya sekedar mencoba mengurai kebenaran temuan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam tinjauan ‘kaca mata’ filsafat ilmu. (mengapa saya ‘menggunakan’ filsafat ilmu sebagai “kaca matanya?”, karena filsafat ilmu yang melandasi secara filosofis lahirnya metode ilmu, atau dengan kata lain filsafat ilmu merupakan dasar filosofis sebuah pengetahuan dikatakan benar secara ilmiah, pengetahuan yang benar secara ilmiah ini biasa kita sebut dengan nama ilmu). Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk ‘memprovokasi’ saudara agar meninggalkan metodologi Penelitian Tindakan Kelas, atau mempersuasi (membujuk) saudara agar menggunakan metodologi penelitian-penelitian formal, tulisan ini justru dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang tepat mengenai kebenaran temuan penelitian tindakan kelas, sehingga saudara diharapkan dapat menempatkan ‘posisi’ yang tepat dalam menyikapi temuan-temuan Penelitian Tindakan Kelas. Sehingga kasus over confident dalam penyimpulan hasil temuan Penelitian Tindakan Kelas tidak lagi terjadi.
Dalam tulisan ini saya menyajikan urutan penulisan sebagai berikut; pada bagian awal saya mencoba memberikan gambaran mengenai bagaimana metode ilmiah bekerja untuk “mencari” kebenaran, menghampiri dan mengenali realitas fisik dunia, yang tentu saja ditinjau dari perspektive filsafat ilmu, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai bagaimana metodologi penelitian tindakan kelas dikembangkan dan bekerja, pada bagian selanjutnya akan dibahas pandangan filsafat ilmu terhadap kebenaran temuan penelitian tindakan kelas, dan pembahasan terakhir diakhiri dengan pembahasan mengenai “posisi” kebenaran penelitian tindakan kelas termasuk dalam kelompok ‘kebenaran’ mana?, apa dasar fiolosofis yang mendasari kebenaran temuan penelitian tindakan kelas?. Susunan penyajian tulisan yang demikian diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi saudara dalam mengikuti “alur cerita” argumen-argumen dalam artikel ini.
Bagaimana Metode Ilmiah Bekerja
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu. Jadi jika seseorang hendak mengklaim mendapatkan pengetahuan yang dapat disebut dengan ilmu, mutlak harus menggunakan metode ilmiah. Hal ini berarti tidak semua pengetahuan bisa disebut dengan ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Secara filosofis metode ilmiah dibangun dari cara berpikir deduktif dan induktif. Berpikir deduktif memberikan ‘warna’ sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Berpikir induktif dimaksudkan untuk memberikan pembenaran empirik kepada pengetahuan yang yang telah dirasionalisasi oleh berpikir deduktif. Kedua hal ini sangat penting, bagaimana kita bisa percaya bahwa, misalkan terdapat partikel x dalam atom yang belum diketahui manusia?, atau ketika kita melihat fenomena empirik tentang hujan kemudian diartikan bahwa para dewa-dewa sedang menangis tersedu-sedu.
Di dalam metode ilmiah setelah pengetahuan diberikan penjelasan rasional (deduktif), sebelum teruji secara empirik (induktif) semua penjelasan tersebut hanyalah bersifat sementara, penjelasan sementara ini biasa kita sebut dengan istilah hipotesis. Secara filosofis sebenarnya kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik. Namun dalam kesimpulan akhir hanya satu hipotesis yang diterima, yaitu hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empirik. Terkait dengan penjelasan tersebut, oleh karena itu sering kali metode ilmiah dikenal sebagai proses logiko-hipotetiko-verifikatif, yang merupakan ‘perkawinan’ antara deduksi dan induksi. Meminjam kalimat Jujun Suriasumantri secara sederhana metode ilmiah dapat digambarkan dalam kalimat sederhana sebagai berikut ‘jelaskan pada saya lalu berikan buktinya!’
Masih menurut Jujun Suriasumantri kerangka berfikir ilmiah logico-hipotetiko-verivikatif pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
- Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empirisme yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
- Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir di susun secara rasional berdasar premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenaranya dengan memperhatikan faktor empirik yang relevan dengan permasalahan.
- perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikri yang dikembangkan.
- pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
- Penarikan kesimpulan, merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu di tolak atau diterima, sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima, begitu sebaliknya. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan.
Keseluruhan langkah di atas harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Secara lebih jelas Jujun (2001) mendiagramkan alur kerja metode ilmiah seperti pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Metode Ilmiah
Bagaimana Metodologi Penelitian Tindakan Kelas Bekerja
Konsep penelitian tindakan bermula dari pandangan seorang ahli psikologi sosial yang bermana Kurt Lewin (1946). Lewin menggunakan pendekatan penelitian tindakan setelah usainya perang dunia ke dua dalam usaha menyelesaikan berbagai masalah sosial. Lewin pada saat itu mengemukakan dua ide pokok penelitian tindakan yaitu; (1) keputusan bersama, dan (2) komitment untuk meningkatkan dan memperbaiki prestasi kerja. Kedua ide pokok tersebut sekarang menjadi karakteristik dasar penelitian tindakan yang menegaskan perlunya usaha kolaboratif atau usaha secara bersama-sama dalam meningkat mutu prestasi kerja.
Pada tahun 1953, ide Lewin dikembangkan oleh Stephen Corey di New York sebagai pendekatan penelitian yang diselenggarakan oleh guru-guru sekolah. Pada Tahun 1976 Jhon Elliot menggunakan pendekatan ini untuk membantu guru mengembangkan usaha inkuiri dalam pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas yang kemudian dikenal dengan penelitian tindakan kelas (PTK).
Banyak ahli memberikan definisi tentang penelitian tindakan kelas (PTK). Namun sacara umum mereka mendefinisikan penelitian tindakan kelas sebagai sebuah proses investigasi terkendali yang berdaur ulang (bersiklus) dan bersifat reflektif mandiri, yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi. Proses daur ulang (siklus) kegiatan dalam penelitian tindakan divisualisasikan pada Gambar 2. Siklus Penelitian Tindakan Kelas
Dari gambar 2 di atas terlihat daur ulang aktivitas dalam penelitian tindakan diawali dengan perencanaan tindakan (planing)¸ penerapan tindakan (action), mengobservasi dan mengevaluasi proses dan hasil tindakan (observation dan evaluation), dan melakukan refleksi (reflection), dan seterusnya sampai perbaikan atau peningkatan yang diharapkan tercapai.
Seorang peneliti sebelum masuk ke dalam kegiatan pada siklus di atas (gambar 1), pada dasarnya juga melakukan kegiatan deduktif, yang kemudian disusun menjadi kerangka teoritis yang digunakan sebagai pembenaran rasional dari hipotesis tindakan yang ditetapkan. Kegiatan penelitian setelah itu adalah terfokus pada kegiatan dalam siklus-siklus penelitian. Tahap pertama dari siklus tersebut adalah tahap perencanaan, pada tahap ini peneliti mempersiapkan kegiatan penelitian yang akan diimplementasikan dalam tahap tindakan, tahap selanjutnya adalah tahap tindakan pada tahap ini peneliti mengimplementasikan segala sesuatu yang telah dipersiapkan dalam tahap perencanaan, tahap selanjutnya adalah observasi dan evaluasi dan refleksi dari hasil kegiatan pada tahap tindakan diamati dan dievaluasi keberhasilannya sesuai dengan standard keberhasilan yang telah ditetapkan, jika belum peneliti kembali mengulangi siklus penelitian di atas sampai standard keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai.
Temuan Penelitian Tindakan Kelas dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Seperti telah saya jelaskan pada uraian sebelumnya, pengetahuan dikatakan memenuhi nilai keilmiahan jika dan hanya jika (JJ) telah memenuhi syarat-syarat keilmiahan, syarat-syarat tersebut terjabarkan dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah. Secara khusus juga telah dijelaskan bahwa metode ilmiah disusun berdasar kerangka berfikir logiko-hipotetiko-verifikatif, secara sederhana kerangka berfikir tersebut dapat dimaknai dengan kalimat berikut ‘tunjukkan pada saya bahwa pengetahuan tersebut logis/rasional berikan hipotesis dan buktikan kebenarannya secara empirik’. Langkah-langkah untuk ‘menjamin’ terimplementasikannya logiko-hipotetiko verifikatif juga telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, yaitu diawali dengan kegiatan perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis sampai dengan penarikan kesimpulan.
Dengan menggunakan pengetahuan mengenai bagaimana metode ilmiah dikembangkan, saya mencoba meninjau apakah metodologi Penelitian Tindakan Kelas, sudah melaksanakan langkah-langkah metode ilmiah tersebut sebagai sebuah prasyarat utama temuan penelitian dikatakan benar secara ilmiah dan sebagai prasarat utama pengetahuan dapat disebut/diklasifikasikan sebagai ilmu.
Dengan bantuan diagram alir (flow diagram) metode ilmiah pada Gambar 1 dan penjelasan tentang bagaimana penelitian tindakan kelas dikembangkan, kita bisa melihat bahwa, a) pada dasarnya penelitian tindakan kelas pada awalnya “sistem kerjanya’ tidak berbeda dengan system kerja metode ilmiah, para peneliti yang menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas, seperti halnya dalam kegiatan metode ilmiah, sebelum melakukan penelitian juga berangkat dari sebuah masalah penelitian, yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis tindakan untuk memberikan ‘pembenaran’ rasional terhadap rumusan hipotesis yang ditetapkan. Hipotesis penelitian tindakan kelas berupa keyakinan peneliti secara rasional terhadap tindakan yang dipilihnya. Sampai pada ‘titik’ ini tidak ada perbedaan prinsipil (secara ontologi) yang mencolok antara metode penelitian tindakan kelas dengan langkah-langkah pada metode ilmiah. Pada ‘titik’ ini langkah-langkah dalam metode penelitian tindakan kelas tidak berbeda dengan langkah-langkah pada metode penelitian formal lainnya yang berlandaskan kepada metode ilmiah, yaitu kegiatan pengujian ‘kebenaran’ secara deduktif. 2) langkah selanjutnya menurut diagram alir (flow diagram) metode ilmiah adalah kegiatan verifikasi terhadap hipotesis yang telah diajukan untuk membuktikan kebenaran empirik (induktif) dari rasionalisasi (hipotesis) yang telah diajukan sebelumnya. Pada penelitian formal dalam bidang pendidikan (misal: quasi eksperimen), biasanya pada kegiatan ini, peneliti mencari kelas yang homogen dan mengelompokkanya dalam dua kelompok kelas, yaitu kelas sebagai kelompok perlakuan (eksperimen) dan kelas sebagai kelompok kontrol, masing-masing kelompok diupayakan (dikontrol) dalam kondisi yang tidak berbeda, dengan maksud untuk ‘menjamin’ bahwa hanya karena perlakuan saja sebuah perubahan dilihat. Masing-masing kelompok diberi perlakuan yang sama, kemudian dilihat hasilnya. Dengan bantuan statistik dapat ditetapkan sebuah hipotesis diterima atau ditolak.
Pada penelitian tindakan kelas juga dilakukan kegiatan ‘verifikasi’ terhadap hipotesis yang diajukan (lihat siklus PTK pada Gambar 2), biasanya peneliti yang menggunakan metode penelitian tindakan kelas, setelah mengembangkan hipotesis penelitian, mereka melakukan kegiatan yang dikenal dengan nama tahap perencanaan, pada tahap ini peneliti merencanakan segala sesuatu yang terkait dengan rencana pada tahap implementasi tindakan (misalkan menetapkan keberhasilan tindakan yang diharapkan, mengembangkan perangkat, dll). Setelah rencana-rencana pada tahap perencanaan telah berhasil diselesaikan, tahap selanjutnya adalah kegiatan pengimplementasian rencana-rencana yang telah disusun dalam tahap yang diberi nama implementasi tindakan, sambil melaksanakan tindakan peneliti melakukan observasi dan evaluasi terhadap kegiatan pada implementasi tindakan, peneliti mencatat segala temuan yang terkait dengan kegiatan implementasai tindakan. Langkah ini dimaksudkan sebagai bahan refleksi untuk perbaikan tindakan pada siklus selanjutnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa target keberhasilan tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya belum tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti, maka kegiatan penelitian akan masuk pada siklus selanjutnya dengan materi yang berbeda sampai dengan target keberhasilan yang telah ditetapkan tercapai. Baru kemudian temuan penelitian ini disimpulkan.
Seperti telah penulis jelaskan pada paragraf sebelumnya, pada awalnya tidak ada perbedaan prinsipil (kalau tidak boleh disebut dengan pelanggaran) pada penelitian tindakan kelas dengan langkah-langkah metode ilmiah. Pada tahap ini metode penelitian tindakan kelas, juga berusaha mengembangkan kegiatan logiko-hipotetiko sebagai salah satu prasayarat pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu dan sebagai prasyarat temuan penelitian dikatakan benar secara ilmiah.
Tahap selanjutnya adalah kegiatan verifikasi terhadap hioptesis yang diajukan untuk memberikan pembenaran secara empirik. Kritik yang muncul (menurut saya) terkait dengan kegiatan verifikasi hipotesis pada penelitian tindakan kelas, terletak pada keterpercayaan hasil temuan penelitian tindakan kelas. Mengapa hal ini muncul?, kemunculan kritik ini terkait dengan langkah pengujian hipotesis yang menurut pendapat pribadi penulis menimbulkan bias yang luar biasa besar, bias ini tentu saja mempengaruhi kesimpulan yang dihasilkan nantinya.
Sekarang mari kita lihat dimana letak kebias-anya dengan bantuan perbandingan dengan menggunakan penelitian pendidikan formal yang berlandaskan pada metode ilmiah. Dengan sebuah contoh berikut, setelah seorang peneliti berhasil mengembangkan logiko-hipotetiko, kewajiban selanjutnya untuk dapat mengklaim bahwa temuannya dapat disebut sebagai ilmu atau kebenaran temuannya dapat dikatakan benar secara ilmiah, peneliti harus bisa membuktikan (memverifikasi) hipotesisnya secara empirik. Pada penelitian formal dalam bidang pendidikan (kuasi eksperimen, seperti yang dicontohkan sebelumnya) peneliti berusaha mencari kelas yang benar-benar homogen dalam segi kemampuan siswa dan sebagainya, kemudian mengelompokannya dalam dua kelompok kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelompok kontrol, masing-masing kelas mendapatkan perlakuan yang sama, materi yang sama, semuanya dijaga dengan perlakuan yang sama, kemudian dilihat dengan bantuan statistik apakah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima, jika diterima maka hipotesis tadi sudah mempunyai bukti secara empirik, dan layak disebut dengan ilmu.
Pada penelitian tindakan kelas setelah peneliti mengembangkan hipotesis, agar temuanya dapat diakui sebagai ilmu, juga wajib melakukan kegiatan verifikasi untuk membuktikan bahwa hipotesisnya benar secara empirik. Jika kita asumsikan bahwa kegiatan siklus dalam PTK adalah kegiatan untuk membuktikan kebenaran empirik terhadap hipotesis yang diajukan, maka dapat dijelaskan lewat contoh berikut, seorang peneliti dengan menggunakan metodologi penelitian tindakan kelas, setelah berhasil mengembangkan hipotesis, kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan keseluruhan langkah-langkah yang tercantum dalam siklus penelitian tindakan kelas (gambar 2), peneliti memilih satu kelas (idealnya kelas yang dianggap bermasalah, dipilih pada awal pengembangan) pada kelas ini peneliti melakukan kegiatan perencanaan, implementasi tindakan, observasi dan evaluasi, dan refleksi. Jika satu siklus ini ternyata target keberhasilan tindakan belum juga tercapai maka akan diulang pada siklus selanjutnya sampai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan tercapai. Kegiatan verifikasi terhadap hipotesis (ingat dengan asumsi kita) semacam ini banyak memunculkan kritik, salah satunya seperti penulis sebutkan di atas, ‘apa jaminan bahwa temuan penelitian tindakan kelas disebabkan oleh hipotesis yang diajukan?, “jangan-jangan meningkatnya (misalkan: hasil belajar) bukan disebabkan oleh (misalkan: metode x) seperti yang telah disebutkan dalam hipotesis?, “apa jaminan bahwa keberhasilan tindakan pada siklus tertentu disebabkan oleh tindakan yang dipilih dan direvisi?, jangan-jangan materi pada siklus itu memang lebih mudah dibandingkan dengan siklus sebelumnya, atau jangan-jangan siswa sudah mulai ‘peka’ dengan metode pembelajaran x tersebut?. Meminjam pernyataan Profesor Ahmad Tafsir (dengan tambahan-tambahan hiperbolik dari saya he…he...JJ), temuan penelitian tindakan kelas seperti cerita “gerhana matahari dan kentongan” (mau tahu ceritanya?) ‘di Lumajang bila terjadi gerhana matahari, semua penduduk sibuk memukul kentongan, jika kita coba tanya pada mereka ‘mengapa memukul kentongan’, mereka menjawab ‘agar matahari muncul kembali’, setelah kita tunggu beberapa saat, ajaib matahari benar-benar bersinar lagi (sumpah Broo.., kalau ndak percaya buktikan saja…JJ), namun pertanyaannya adalah ‘apakah munculnya matahari karena dipukulnya kentongan?’, atau ‘jangan-jangan jika penduduk desa tidak memukul kentongan matahari juga tetap muncul? (untuk pertanyaan terakhir ini saya tidak bisa menjawab, soalnya saya orang Lumajang, pada saat terjadi gerhana matahari saya ikut-ikutan pukul kentongan he…he…JJ)’
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas jarang ditemukan pada penelitian-penelitian formal, karena dalam penelitian formal biasanya hal semacam ini sangat dijaga (dikontrol), agar hanya variabel yang ingin diukur saja yang mempengaruhi kegiatan penelitian, variabel lain di kontrol pengaruhnya (pada penelitian true eksperimen pengontrolan variabel lebih ekstrim lagi)
Temuan-temuan penelitian tindakan kelas, bila kita tinjau dari perspektif filsafat ilmu (menurut saya) memang masih banyak menyisakan banyak pertanyaan. Dan bila kita ‘saklek’ dengan definsi temuan penelitian dikatakan ilmiah jika sesuai dengan metode ilmiah, maka penelitian tindakan kelas mempunyai kelemahan (permasalahan) dalam kegiatan pembuktian hipotesis secara empirik. Sehingga bila kita tinjau hanya dari satu sisi aspek ini (metode ilmiah) saja, maka temuan penelitian tindakan kelas agaknya masih menyisakan banyak pertanyaan tentang keilmiahannya (keilmiahan temuannya). Sehingga penyimpulan hasil temuan dalam penelitian tindakan kelas harus dimaknai secara hati-hati, maksudnya bahwa temuan penelitian ini, jelas tidak dapat digeneralisasikan terhadap semua populasi.
Namun demikian ‘permasalahan ketidak ilmiahan’ ini sebenarnya sudah banyak diakui oleh ahli-ahli penelitian tindakan kelas, mereka sering menyatakan dalam tulisan-tulisannya bahwa hipotesis penelitian tindakan hanya berupa keyakinan peneliti terhadap sebuah tindakan yang dipilih, dan kegiatan penelitian tindakan kelas bukan dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu (dengan kata lain siklus dalam PTK bukan dimaksudkan untuk memverifikasi hipotesis) namun dimaksudkan untuk perbaikan praktis.
Pertanyaan selanjutnya apa dasar filosofis ‘pembenaran’ temuan penelitian tindakan kelas?, atau dengan kalimat lain ‘kalau begitu kebenaran penelitian tindakan kelas ini, termasuk dalam golongan kebenaran yang mana?. Pada sub bab berikutnya akan penulis uraikan dasar filosofis penelitian tindakan kelas.
Temuan Penelitian Tindakan Kelas Termasuk Golongan Kebenaran yang Mana Jika saudara sependapat dengan kesimpulan saya, bahwa temuan penelitian tindakan kelas masih menyisakan banyak pertanyaan tentang keilmiahan temuannya. Maka tugas kita yang paling pokok adalah ‘menelusuri’ apa yang mendasari secara filosofis (apa dasar filosofis kebenarannya) sehingga ‘lahir’ metodologi penelitian tindakan kelas. Karena saya percaya bahwa sebuah kelahiran, muncul karena ada sebab (saya lahir di dunia disebabkan apa ya…JJ), sebuah kelahiran metodologi penelitian tertentu pasti dilandasi oleh dasar filosofis tertentu.
Salah satu ‘jalan’ yang dapat kita lalui untuk sampai pada landasan filosofis yang mendasari penelitian tindakan kelas adalah dengan menelusuri kriteria mengenai kebenaran. Secara teoritis dikenal macam-macam teori kebenaran, antara lain sebagai berikut (saya comot dari buku Prof. Jujun Surya Sumatri)
Teori koherensi, menurut teori ini sesuatu (pernyataan) dikatakan benar jika sesuatu itu (pernyataan itu) bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa ‘semua manusia pasti mati’ adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa ‘si fulan adalah seorang manusia, dan si fulan pasti akan mati” adalah benar pula, karena pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Teori korespondensi, menurut penganut teori korespondensi suatu pernyataan dikatakan benar jika ‘materi’ pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalkan jika seseoramh mengatakan bahwa Ibu kota propinsi jawa timur adalah Surabaya, maka pernyataan tersebut dikatakan benar, sebab secara faktual ibu kota propinsi jawa timur memang Surabaya.
Teori kebenaran ilmiah, teori kebenaran ilmiah merupakan penggabungan antara teori kebenaran koherensi dan teori korespondensi. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas menggunakan teori koherensi. Sedangkan pembuktian secara empirik dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan teori korespondensi (induktif)
Teori Kebenaran Pragmatis, teori kebenaran pragmatis, suatu kebenaran diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya sesuatu itu dikatakan benar jika mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Dari uraian tentang teori-teori kebenaran di atas, agaknya sudah mulai tampak “titik terang” mengenai posisi ‘kebenaran’ temuan penelitian tindakan kelas. Dari sudut pandang terhadap peran pengetahuan dan penerapannya, agaknya penelitian tindakan kelas cenderung ‘tertolak’ oleh orang-orang yang menganut pada empirisme, logis (rasionalisme), atau gabungan keduanya. Sebaliknya, penganut pragmatisme dan materilisme dialektis akan menerima kebenaran penelitian tindakan kelas, karena mereka beranggapan bahwa sesuatu itu dikatakan benar jika mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini posisi penelitian tindakan kelas dipandang sebagai alat untuk memperbaiki situasi/permasalahan pembelajaran di dalam kelas, bukan dimaksudkan untuk membangun teori.
Terkait dengan hal di atas menurut pendapat pribadi saya adalah tidak ‘bijaksana’ mempertentangkan sesuatu hal yang mempunyai landasan filosofis berbeda, karena sama saja dengan kita mempertentangkan sebuah penilaian terhadap sesuatu dengan menggunakan prinsip indikator kebenaran yang berbeda. Penelitian tindakan kelas dengan filosofis dasar pragmatisme yang percaya bahwa sesuatu dikatakan benar jika mempunyai kegunaan praktis kemudian ‘diadu’ dengan teori kebenaran lain, misalkan kebenaran ilmiah yang mempunyai indikator kebenaran yang berbeda 180 derajat dengan teori kebenaran yang pertama, tentu saja tidak akan pernah sampai pada satu titik temu, seperti dua buah garis sejajar yang tidak akan pernah bertemu sampai kapanpun dan dimanapun. (seperti aku dan engkau yang tidak akan pernah bersatu sampai kapanpun…JJ)
Posisi saya dalam menyikapi hal ini, memilih dalam posisi ‘bermuka dua’ dalam artian, jika penelitian kita dimaksudkan untuk membangun sebuah teori/ilmu/dapat digeneralisasi pada populasi lebih luas, maka jangan sekali-kali menggunakan metodologi penelitian tindakan kelas, sebaliknya jika penelitian dimaksudkan untuk perbaikan praktis kualitas pembelajaran di dalam kelas agaknya metodologi penelitian tindakan kelas merupakan pilihan yang paling tepat, daripada sekedar tahu bahwa metode X lebih baik dari metode Y, tanpa ada konstribusi ‘luar biasa’ dalam perbaikan praktis pembelajaran di dalam kelas.
Kesimpulan
Mengurai kebenaran temuan penelitian tindakan kelas dalam perspektif filsafat ilmu, akan banyak menyisakan pertanyaan akan keilmiahan temuan penelitian tindakan kelas, hal ini terkait dengan permasalahan verifikasi dalam pembuktian kebenaran empirik hipotesis yang diajukan. Dan permasalahan ini juga di akui secara terbuka oleh ahli penelitian tindakan kelas, mereka sering menyatakan dalam tulisan-tulisannya bahwa hipotesis penelitian tindakan hanya berupa keyakinan peneliti terhadap sebuah tindakan yang dipilih, dan kegiatan penelitian tindakan kelas bukan dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu (membuat teori) namun dimaksudkan untuk perbaikan praktis.
Men-judge (menghakimi) bahwa temuan penelitian tindakan kelas adalah tidak benar, hal itu juga bukan sebuah keputusan yang bijaksana, karena sesunguhnyalah kita banyak berhadapan dengan pruralitas kriteria kebenaran dengan dasar-dasar filosofis yang berbeda-beda di dunia ini. Penelitian tindakan kelas boleh jadi memang tidak benar secara ilmiah karena ‘melanggar’ aturan yang digariskan oleh metode ilmiah. Tetapi boleh jadi dianggap benar jika kita meninjau dari persepektif filosofis yang berbeda (pragmatisme dan materialisme dialektis misalnya), dan begitu sebaliknya temuan penelitian yang diklaim benar secara ilmiah oleh metode ilmiah, bagi pragmatisme dan materialisme dialektis tidak lebih seperti ‘sampah’ yang tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan praktis kehidupan manusia. Adalah tidak elok kiranya kita ‘mempertentangkan’ keduanya, atau memaksakan salah satunya, karena keduanya mempunyai dasar filosofis kriteria benar yang berbeda.
Menyitir pendapat Paul Feyerabend bahwa tidak seharusnya kita mengasumsikan superioritas dari metoda saintifik modern, kita tidak bisa memprediksi seperti apa pengetahuan di masa depan akan berbentuk, karena itu kita tidak perlu membatasi diri hanya pada satu metoda untuk meraih pengetahuan, kita tidak boleh melarang upaya-upaya intelektual masa depan dengan membatasi hanya pada satu paradigma sempit menggunakan “model-model fisika”
Akhirnya kritikan dan saran, atau ‘ketidak setujuan’, ‘kesetujuan’, ‘makian’, ‘pujian’ terhadap isi tulisan saya ini, dapat disampaikan pada email berikut:
Baskoro_ap@telkom.net atau Baskoroadiprayitno@yahoo.com
Ah…Benar sendiri sedang bingung mencari kebenarannya
Ah…Sesuatu yang aku anggap paling benar, ternyata tidak dapat mendefinisikan sendiri akan kebenarannya
Ah… Ada berapa banyak benar yang kau ketahui… sebanyak apa yang kau pikirkan dalam otakmu, ….karena akalmu selalu saja dapat memberikan label benar…
Ah…Sang pemberi petunjuk… tolong tunjukkan yang paling benar dari sebanyak macam benar….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar