Sabtu, 28 Juni 2008

SISTEM PENDIDIKAN KITA HARUS BERTANGGUNGJAWAB TERHADAP KRISIS MORAL DAN ETIKA BANGSA

SISTEM PENDIDIKAN KITA HARUS BERTANGGUNGJAWAB

TERHADAP KRISIS MORAL DAN ETIKA DI NEGARA INI


Oleh:

Cak Baskoro Adi Prayitno



Kurikulum merupakan ’softwere’ yang paling fital dalam menghasilkan sebuah luaran pendidikan. Kurikulum pendidikan kita sebenarnya memang ’belum’ dirancang untuk menghasilkan produk luaran seperti telah diamanatkan oleh tujuan pendidikan nasional. Kurikulum kita hanya dirancang untuk menghasilkan manusia-manusia yang pandai secara kognitif


Tatanan kehidupan yang semrawut merupakan akibat dari system kebangsaan yang rapuh. Hal ini mengantarkan masyarakat Indonesia pada krisis yang berkepanjangan yang seakan tiada pernah berakhir. Berbagai peristiwa dan kejadian yang tidak menyenangkan selalu menghiasi kolom-kolom koran dan layar kaca kita hampir setiap hari, baik itu berupa berita eksploitasi pusat atas daerah, eksploitasi manusia atas manusia, penggunaan jabatan yang sewenang-wenang jauh dari sumpah jabatan, perilaku kekerasan di kalangan remaja, percaturan bisnis yang tidak beretika, perilaku poilitik yang culas serta kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah.

Adalah wajar bila muncul sebuah pertanyaan pada diri kita “pasti ada sesuatu yang salah dengan bangsa ini?’. Mengurai “sesuatu yang salah” ini bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan lebih sulit daripada mengurai benang yang paling kusut sekalipun. Menurut hemat saya kesemrawutan bangsa ini merupakan akumulasi dari akibat “sesuatu” yang salah tersebut. Kesemrawutan ini tidaklah cukup dijelaskan dengan hanya menggunakan hukum kausalitas sederhana. Fakta menunjukkan koruptor kelas kakap sebagian besar adalah orang yang berpendidikan tinggi bahkan orang yang mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hukum. Orang yang suka membunuh saudaranya mengaku orang yang paling taat beragama. Seolah-olah menyalahkan kurangnya pendidikan dan pengetahuan agama masyarakat tidak berdasar. (Kadang kala saya berpikir terminology Hume bisa jadi benar ketika ia mengatakan tidak ada rasionalisasinya hukum kausalitas alam. Karena segala sesuatu kejadian di alam itu tidak hanya dipengaruhi oleh beberapa factor tapi supra multi factor yang tidak akan pernah diketahui alasannya oleh manusia). Namun hati kecil saya percaya bahwa tidak ada sebab tanpa ada penyebab, tidak ada asap kalau tidak api demikian pepatah bijak mengatakan.

Kalau kita mencoba mau sedikit mengernyitkan dahi untuk menelusuri akar masalah penyebab krisis kebangsaan ini mungkin kita akan sampai pada salah satu titik simpul yang mempunyai andil besar dalam menyumbang kesemrawutan ini yaitu system pendidikan. Adalah benar adanya jika banyak ahli mengatakan bahwa institusi yang pertama kali harus bertanggungjawab terhadap krisis kebangsaan ini adalah dunia pendidikan, karena dunia pendidikan merupakan ujung tombak dalam membentuk karakter anak bangsa, karena dunia pendidikan yang memberikan warna hitam atau putih anak-anak bangsa. Pertanyaan selanjutnya apa yang salah dengan pendidikan kita sehingga menghasilkan luaran-luaran yang pintar dan cerdas secara kognitif tetapi miskin etika dan moral.

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita

Kalau kita berbicara tentang sistem pendidikan, secara sederhana dapat dilustrasikan seperti kerja sebuah pabrik dalam menghasilkan sebuah produk. Kerja sebuah pabrik selalu berurusan dengan tiga komponen, yaitu input, proses, produk. Input merupakan berbagai hal (sumber daya) yang digunakan dalam proses untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika pabrik tersebut adalah pabrik mebel maka input tersebut bisa berupa kayu. Proses, adalah upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, jadi pada bagian ini input tadi akan dibentuk sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Masih dengan menggunakan contoh pabrik mebel, maka bagian proses ini adalah kegiatan mengubah kayu menjadi sebuah mebel (sebagai tujuan yang telah ditetapkan). Luaran, merupakan hasil akhir dari kegiatan proses. Hasil akhir dari proses pada contoh pabrik di atas berupa mebel bisa kursi, meja, almari, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Cara kerja sistem pendidikan kurang lebih sama dengan sistem kerja sebuah pabrik yang telah diuraikan sebelumnya. Kalau kita hendak mengurai apa yang salah dengan system pendidikan kita, kita harus menelusuri komponen-komponen ini. Untuk mengurai apa yang salah dengan system pendidikan kita mari kita tinjau dulu tujuan pendidikan nasional kita yaitu ‘mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Namun agaknya tujuan pendidikan nasional ini untuk konteks sekarang harus diakui masih ’jauh panggang dari api’. Bila kita ibaratkan (masih dengan menggunakan contoh pabrik mebel) tujuannya hendak membuat mebel, produk yang dihasilkan malah ‘mobil-mobilan’ dari kayu. (masih mendingan jika hasilnya masih berupa mebel dengan mutu jelek )

Bila kita mendapatkan luaran yang tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan akal sehat kita pasti mengira ada sesuatu yang tidak benar pada sisi input dan proses tersebut. Kalau kita berbicara Input dalam pendidikan paling tidak ada 3 faktor yang terlibat, 1) orang yang terlibat dalam proses, dalam hal ini siswa, guru, dan karyawan, 2) material, meliputi fasilitas, peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses, 3) tekhnologi, adalah tekhnik yang digunakan dalam proses untuk melaksanakan tugas-tugas praktis untuk mencapai tujuan. Sekarang mari kita coba melihat apa yang salah dari sisi input. Pertama kita tinjau dari sisi orang yang terlibat, siswa merupakan ’bahan mentah’ yang akan dibentuk oleh proses pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan, dari sisi siswa merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jadi pada sisi siswa kita harus berasumsi tidak ada masalah berarti. Selanjutnya adalah guru, faktor guru masih banyak menyisakan masalah terutama masalah pemerataan dan mutu guru, untuk mengatasi permasalahan mutu guru pemerintah sedang mensertifikasi ratusan ribu guru di Indonesia, permasalahan mutu guru ini merupakan kegagalan LPTK dalam menyiapkan guru berkualitas (menurut hemat saya, sertifikasi guru barangkali merupakan langkah yang tepat untuk jangka pendek, tetapi akan menjadi pemborosan besar-besaran bila tidak diiringi perbaikan kualitas institusi penghasil guru (LPTK), kegiatan sertifikasi guru merupakan indikator kegagalan LPTK dalam menghasilkan guru yang berkualitas). Faktor kedua berupa material seperti fasilitas, peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses, bila kita tinjau dari sisi ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa fasilitas, peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sungguh sangat memprihatinkan. Faktor ketiga teknologi, tekhnologi dalam konteks ini adalah tekhnologi yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, menurut hemat saya sampai saat ini pemerintah masih ’kebingungan’ mencari ’tekhnologi’ yang cepat, tepat dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Jadi kesimpulannya jika kita tinjau dari sisi input sistem pendidikan kita memang masih banyak menyisakan permasalahan.

Selanjutnya kita mencoba mengurai permasalah sistem pendidikan kita dari sisi proses. Bila kita mencoba mengidentifikasi komponen-komponen apa saja yang terlibat dari sisi proses paling tidak ada dua faktor penting yang sangat mempengaruhi output dari sistem pendidikan, yang pertama kurikulum dan yang kedua adalah proses pembelajaran. Kurikulum ini merupakan ’softwere’ yang paling fital dalam menghasilkan sebuah luaran, karena di dalam kurikulum ini sesungguhnya ’blue print’ sebuah luaran. Menurut hemat saya kurikulum pendidikan kita sebenarnya memang ’belum’ dirancang untuk menghasilkan produk luaran seperti telah diamanatkan oleh tujuan pendidikan nasional kita. Kurikulum kita sebenarnya dirancang untuk menghasilkan manusia-manusia yang pandai secara kognitif saja. Untuk membuktikan statment ini sebenarnya cukup mudah, mari kita tinjau kurikulum pendidikan dasar dan menengah kita, berapa banyak mata palajaran yang mampu mengajari siswa kita berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab?, berapa jam mata pelajaran agama untuk mengajari menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa?. Faktor kedua yang sangat berpengaruh adalah proses pembelajaran, harus kita akui proses pembelajaran kita masih terorientasi pada kegiatan menghafal, siswa tidak pernah diajarkan kemampuan berpikir (berpikir tinggi,`kreatif, kritis, apalagi ketrampilan sosial), siswa kita tidak ada bedanya dengan burung beo (saya masih ingat ketika saya masih menjadi guru GTT di SMA swasta di Malang, saya iseng-iseng bertanya pada siswa saya ’coba berikan contoh simbiosis mutualisme?’ hampir sebagian siswa saya menjawab burung jalak sama kerbau, ketika saya minta mereka memberi contoh lain semua siswa tidak bisa, dan pertanyaan ini saya ulang pada siswa yang baru masuk disekolah tersebut pada tahun berikutnya, dan jawaban mereka sama dengan jawaban siswa saya sebelumnya)

Dari uraian di atas adalah sebuah kewajaran jika luaran pendidikan kita hampir sebagian besar miskin etika dan moral, selain kurikulum kita yang kurang mengakomodir soal etika dan moral, juga disebabkan oleh sebab-sebab lain yang sangat kompleks mulai dari sisi input dan proses. Adalah suatu kewajaran jika banyak orang mengatakan sistem pendidikan kita harus bertanggungjawab terhadap krisis moral dan etika di negara ini.


Malang, 28 Juni 2008



Tidak ada komentar: