Jumat, 13 Juni 2008

APAKAH AGAMA YANG ILMIAH YANG DIKATAKAN BENAR?

APAKAH AGAMA YANG ILMIAH YANG DIKATAKAN BENAR?



Oleh:

Baskoro Adi Prayitno



Tulisan saya kali ini sebenarnya tidak sesuai dengan tema blok yang saya pilih sendiri, yaitu terminal artikel hasil penelitian dan konseptual tentang pendidikan dan pembelajaran. Tetapi karena saya yang membuat dan mengembangkan blok ini sendiri (dan jangan-jangan juga hanya saya sendiri yang baca….ha…ha…), suka-suka saya mau menulis apa (ha...ha...), jadi sampean harus maklum.

Sebelum saya menguraikan panjang lebar tentang pandangan saya mengenai judul di atas, saya pikir sampean perlu tahu bahwa saya sebenarnya tidak berkompeten menulis hal ini, saya sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi di sekolah negeri yang tidak berbasis agama, sampean maklum bersama bahwa jam mata pelajaran agama sangat minim di sekolah-sekolah tersebut, modal saya hanya belajar agama dari surau kecil di sebelah rumah saya di desa dulu, setelah itu saya hanya membaca beberapa buku-buku dengan tema-tema keagamaan. Mengapa saya perlu menceritakan hal ini?, agar sampean dapat menyikapinya dengan benar tulisan saya. Kalau memang tulisan saya ini ternyata tidak berkenan di hati sampean, anggap saja tulisan orang lagi stress (ha…ha...), tidak perlu meng-hack..blok saya bukan..(ha…ha…)

Mungkin sampean-sampean yang setia membaca blok saya (kalau ada sih..ha..ha…) bertanya-tanya ‘ketemu pirang perkoro’ (bagi pembaca yang tidak dari jawa artinya kira-kira “ketemu berapa perkara”) saya menulis tentang topik ini. Sebenarnya saya telah lama ingin menulis tentang hal ini, terutama sejak saya terpikat oleh buku-buku cak Agus Mustofa, sampai-sampai setiap buku beliau terbit saya selalu menjadi kelompok orang pertama yang antre membeli buku beliau (bisa dikatakan saya fans setianya beliau). Cak Agus Mustofa dalam setiap bukunya mencoba mengilmiahkan semua ayat-ayat dalam Alquran. Hari ini saya Sholat Jumat disalah satu masjid di Surakarta, Khotib juga mencoba mengilmiahkan ayat-ayat Alquran, sangat mengesankan…dan menarik…

Setelah pulang dari Sholat Jum’at tersebut kalimat Khotib, masih terngiang-ngiang dalam telinga saya, juga muncul kembali tulisan-tulisan cak Agus Mustofa di benak saya, melayang-layang memenuhi rongga kepala saya. Timbul banyak pertanyaan di otak saya, salah satu pertanyaan yang sangat mengusik saya adalah ‘apakah agama yang benar itu selalu dapat dijelaskan secara ilmiah?”. Terus terang pembaca…saya sempat tertegun lumayan lama (harus dimaklumi basic pengetahuan agama saya kurang bagus, menghadapi persoalan semacam ini saja sudah sangat berat bagi saya untuk mencari tahu jawabannya). Dalam ketermenungan saya, pikiran saya melayang pada cerita Galileo (benar ya…ha..ha..) yang harus mati dihukum gantung karena mengatakan bumi ini bulat, berlawanan dengan apa yang diyakini orang saat itu, yang berpegang pada ayat dalam alkitab yang menyatakan bahwa bumi ini datar. Lalu timbul sebuah pertanyaan, siapa yang salah? ayat dalam alkitab atau sains yang dikemukakan oleh Galileo?, saya pribadi menganggap bahwa agama itu ‘malah’ tidak harus ilmiah, agama itu harus melampaui kebenaran ilmiah, kalau agama yang benar adalah agama yang ilmiah apa bedanya dengan sains?. Anggapan saya ini, mungkin menjadi agak bertolak belakang dengan tulisan-tulisan cak Agus Mustofa dan petuah Bapak Khotib Jumat saya tadi (tapi bukan berarti saya tidak lagi membaca buku beliau, saya tetap suka membaca buku-buku beliau), untuk mengklaim bahwa anggapan saya yang paling benar saya tidak berani, karena dasar yang saya gunakan adalah pengkajian secara filsafati (filosofis).

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menguraikan alasan mengapa saya kurang sepakat dengan anggapan agama yang benar adalah agama yang ilmiah, atau usaha-usaha untuk mencoba mengilmiahkan ayat-ayat dalam kitab suci. Eit..tunggu dulu.. sampean jangan salah persepsi dengan pernyataan saya tadi, mencoba mengilmiahkan ayat suci boleh saja, tetapi tetap harus disadari bahwa kebenaran ilmiah itu kebenaran nisbi/relative, artinya hari ini benar, nanti suatu saat kalau ada teori lain yang berhasil menggugurkan, maka teori yang tadi kita anggap benar harus gugur demi hukum, pertanyaan selanjutnya apakah ayat-ayat kitab suci tadi juga harus gugur demi hukum karena landasan teoritisnya ambruk?, kalau iya sangat menggelikan...

Oke..untuk membantu kita mengurai permasalahan ini, kita harus mengidentifikasi variabel-variabel masalahnya terlebih dahulu, baru kemudian kita coba mengkajinya dari sudut filosofis (filsafati) “kapan sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar secara ilmiah’. Sedangkan kajian dari sisi keagamaan, jelas saya tidak berkompeten, jadi saya tidak membahas dari sudut pandang ini.

Kalau kita cermati paling sedikit ada dua variabel kunci yang dapat membantu kita yaitu 1) kebenaran ilmiah, dan 2) kebenaran agama. Selama kita sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi kita sudah mengetahui bahwa kebenaran ilmiah itu adalah kebenaran nisbi/relative, sedangkan kebenaran agama merupakan kebenaran yang mutlak. Namun demikian saya yakin hampir sebagian besar kita tidak mengetahui apa makna dari kebenaran ilmiah yang nisbi/relative. Kebenaran agama dalam implementasinya mutlak? Sampai saat ini menjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai dari para ahli agama, tetapi mereka sepakat bahwa ayat-ayat kitab suci (alquran) benar secara mutlak. Dari dua variabel yang berhasil kita identifikasi tanpa saya uraikan lebih lanjut sebenarnya sudah dapat kita simpulkan usaha mengilmiahkan kebenaran agama, secara filosofis sesungguhnya merupakan kemunduran, yaitu dari agama sebuah kebenaran “mutlak” menjadi kebenaran yang relative/nisbi.

Kapan sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar secara ilmiah? Untuk mengetahui ’sesuatu’ (saya katakan sesuatu, sesuatu itu nanti kita kenal dengan nama pengetahuan) dikatakan benar ada prasyaratnya. Sebelum kita berangkat ke prasyarat sesuatu dikatakan benar, terlebih dahulu kita mencoba memahami konsep-konsep dasar filosofis yang mendasarinya.

Konsep dasar pertama kita harus mengetahui dulu apa itu pengetahuan. Pengetahuan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang kita ketahui, tidak peduli dari manapun datangnya. Kalau kita diminta memberi contoh tentang pengetahuan, semua dari kita pasti dapat memberikan jawaban dengan benar, misalnya papan tulis itu berwarna hitam disebut pengetahuan,Mbok Rondo Dadapan cantik juga disebut dengan pengetahuan.

Konsep dasar kedua, manusia tidak puas dengan hanya sekedar tahu, manusia menginginkan pengetahuan yang benar? Apa jaminan bahwa papan tulis tadi berwarna hitam, toh sampean tidak melihatnya bukan?, apa jaminan bahwa Mbok Rondo Dadapan cantik toh saudara tidak mengenalnya bukan?. Sampai disini manusia dihadapkan pada sebuah kebingungan besar. Seandainya alat yang digunakan untuk mencari kebenaran agama, wah...kayaknya repot ya...dunia bisa kacau, semua agama mengklaim agamanya yang paling benar, benar tidak?. Singkat cerita (kalau mau tahu lebih banyak baca buku-buku filsafat ha...ha...) alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah akal (paham rasionalisme), jadi sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar menurut anggapan rasionalis ini adalah jika masuk akal, yang tidak masuk akal (tidak rasional) menjadi tidak benar. Meminjam contoh dari profesor Ahmad Tafsir ”Nabi Ibrahim dibakar tidak terbakar”, masuk akal atau tidak?, rasional atau tidak?, jelas tidak rasional karena menurut akal, ’nabi Ibrahim adalah materi yang jika dibakar akan terbakar’. Pertanyaan selanjutnya apakah hal tersebut tidak benar?. Menurut ayat kitab suci benar. Kalau dalam posisi demikian, mana yang benar? Jelas ayat kitab suci benar secara mutlak, artinya benar ya benar.. yakini saja tidak peduli dapat dibuktikan secara ilmiah atau tidak (menurut saya ini salah satu wujud dari iman). Akhirnya saya berpikir, sebenarnya cakupan benar yang rasional itu ’sempit’ saja, hanya yang dapat diterima akal. Selama ini kita secara tidak sadar telah mendewa-dewakan kebenaran rasional, yang ternyata sempit saja cakupan benarnya...(eh...kok kelihatan bijaksana ya, sstt..yang ngomong bukan saya, tapi prewangan saya ha...ha...)

Dari paragraf di atas kita telah mengetahui bahwa pengetahuan yang benar dicari dengan menggunakan akal/rasio (paham rasionalisme, katanya orang-orang yang belajar filsafat). Paham rasionalisme ini berkembang luar biasa cepat pada jaman Yunani, tidak percaya...? (ya ...sudah...ndak apa-apa..). Paham rasionalisme ini mempunyai banyak kelemahan, kalau kita cermati kadangkala temuan rasionalisme dalam menguji kebenaran sering kali ambigu, misalkan ”peluru yang ditembakkan itu bergerak atau diam?” Dengan rasio/akal orang dapat menjelaskan dengan sama baiknya bahwa peluru yang ditembakkan diam atau bergerak, toh...sampean juga tidak melihat peluru itu bergerak dari titik A ke B. (berapa banyak benar yang kau ketahui, sebanyak akalmu mampu melabeli...ini kata saya...biar kayak Pak Jujun, setiap kalimat dalam buku beliau pasti dilengkapi dengan puisi ha...ha...). oke...orang mulai berpikir, ”kebenaran macam apa yang dapat mengatakan sama-sama benar pada sesuatu yang bertolak belakang?”, ”mencuri benar? tidak mencuri juga benar?”, ”setia benar? selingkuh juga benar?” (kalau seandainya benar dicari dengan polling sms, maka selingkuh yang layak dikatakan benar, dan yang dikatakan tidak benar adalah setia...ha...ha...).

Antitesis dari rasionalisme adalah empirisme, sesuatu dikatakan benar menurut paham empirisme adalah jika pengetahuan itu dapat dibuktikan kebenaranya secara empirik. Papan tulis berwarna hitam dikatakan benar menurut paham empiris jika kenyataan empiriknya memang berwarna hitam, mbok Rondo Dadapan dikatakan cantik kalau kenyataan empiriknya memang cantik, peluru yang ditembakkan diam atau bergerak? bila kita mau membuktikan peluru itu bergerak atau diam menurut paham empirik mudah saja, saudara silahkan berdiri nanti saya tembak kalau peluru itu dapat menembus badan saudara berarti peluru itu bergerak, karena hanya benda yang bergerak yang dapat menembus sesuatu. Paham empirisme juga banyak mempunyai kelemahan, mari kita lihat dengan ilustrasi yang terlalu saya buat-buat ini (ha...ha...). Di kota saya Lumajang Jawa Timur (tepatnya desa Gucialit, kalau saudara lihat peta indonesia kemudian mencari desa tersebut saya jamin tidak ketemu, tapi kalau saudara search di googlemap atap rumah saya pun keliahatan, saya berpikir...apa karena tidak ada di peta, saudara-saudara saya di sana, sampai saat ini tidak dapat pembagian kompor gas gratis ha...ha...) jika ada gerhana matahari penduduk beramai-ramai memukul kentongan, kalau kita bertanya pada mereka ’mengapa kok memukul kentongan?’ mereka akan menjawab ’agar matahari cepat keluar’, kalau kita tanya lagi ’kok bisa matahari cepat keluar’, mereka akan menjawab ”matahari lagi dimakan betara Kala, dengan dipukul kentongan maka telinga Batara Kala akan bising, kemudian marah-marah sehingga matahari yang terlanjur ditelan tersedak keluar” kalau kita kejar lagi mereka dengan pertanyaan ”kalau mataharinya sudah tertelan sampai perut Batara Kala gimana?” Mereka akan melempari saudara dengan kentongan. (ha...ha...ha...ndak ada kerjaan lain ..sampai harus bertanya hal tidak penting). Setelah kentongan dipukul, beberapa saat kemudian ternyata benar bahwa matahari keluar dari langit yang gelap. Pertanyaanya adalah apakah benar disebabkan oleh dipukulnya kentongan matahari keluar? Namun secara empirisme benar kan? Ingat ada buktinya lho...

Oke...kita telah mengetahui bagaimana cara orang mencari kebenaran, yaitu dengan rasional dan empirisme (paling tidak), keduanya mempunyai kelemahan, kemudian timbul ide menggabungkan keduanya yaitu rasional-empirisme, paham ini merupakan dasar filosofis dari sesuatu (pengetahuan) dikatakan benar secara ilmiah atau tidak, yang kemudian dalam pengimplementasianya berkembang metode ilmiah (baca artikel saya yang lain mengenai mengurai kebenaran temuan penelitian tindakan kelas) Jadi sesuatu dikatakan benar secara ilmiah jika secara ontologi memenuhi dua hal tersebut rasional empirik, secara epistomologi dicari dengan metode ilmiah, di luar itu dikatakan tidak ilmiah (bukan saya yang mengatakan lho...dasar filosofisnya memang begitu...). Jadi kebenaran ilmiah itu semakin sempit saja cakupan benarnya bukan?, sudah terbatas pada yang rasional-rasional saja, kemudian ditambah dengan terbatas pada yang empirik-empirik saja. Jadi.. Surga, Neraka, Hari Akhir, Malaikat, Setan, Jin seperti yang dikatakan oleh Alquran jelas tidak ilmiah, karena tidak bisa dibuktikan secara rasional-empirik, tetapi apa hal itu tidak benar? BENAR seratus PERSEN benar, tetapi jelas bukan benarnya ilmiah bukan?...lalu benarnya siapa? Jelas benarnya agama, yakin...yakin...yakin...yakini saja...tidak peduli ilmiah atau tidak ilmiah. Mengutip kalimat Prof Jujun dan Prof. Tafsir ”metode sains (ilmu) tidak dirancang untuk mencari kebenaran di luar rasional dan empirik”. Jadi kesimpulannya kita harus hati-hati ketika mencoba mengilmiahkan ayat-ayat suci. Ayat-ayat suci (menurut saya) tetap benar tanpa harus diilmiahkan sekalipun.

Hanya Allah Yang Maha Tahu


Komentar sampean-sampean saya tunggu....


Surakarta, Jum’at 13-06-2008

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Mbok Siti, perempuan tua di desa terasing juga benar karena hidupnya untuk hidup anak-anaknya. He..He.. Bagus Mas Artikelnya. www.garduguru.blogspot.com

Emilia SP mengatakan...

Hidup Pak Adi,woow...keren artikelnya.tapi lama-lama saya kok pusingya bacanya, he he he... perlu di refresh lagi nih my brain.

Baskoro Adi Prayitno mengatakan...

Mbok siti Benar juga pak...ha...ha... Terimakasih Pak Suyatno telah berkunjung, saya merasa tersanjung dikunjungi penjaga garduguru yang terkenal itu

Baskoro Adi Prayitno mengatakan...

Terimakasih mbak Emil...jadi malu ha..ha... eh mbak... saya yang nulis aja juga pusing ha...ha...

MAS EDDY mengatakan...

Terima kasih Mas anda orang pertama yang berkunjung ke blog saya. Oh ya mohon pencerahannya terutama untuk mengelola blog agar menarik. Matur suwun

Anonim mengatakan...

Agama Islam itu penuh dengan logika dan ke Ilmiah an, Semua ayat2nya bisa dijelaskan secara ilmiah, kalopun ada yg tidak bisa dijelaskan secara ilmiah hal itu dikarenakan karena keterbatasan ilmu pengetahuan sekarang....dan insya allah bisa dijelaskan dan dibuktikan secara ilmiah dengan ilmu yang sesuai dengan jamannya....silahkan diperiksa penemuan orang2 terdahulu yang bisa dibuktikan oleh ayat2 al quran...

Baskoro Adi Prayitno mengatakan...

Terimakasih komentarnya mas Ogiex, secara filosofis kriteria benar ilmiah sangat jauh berbeda dengan kriteria benar agama mas..., pengetahuan dikatakan benar secara ilmiah jika memenuhi dua kata kunci rasional dan empirik, diluar itu dikatakan tidak benar. Ilmu 'selamanya' (saya kasih tanda petik) tidak dapat menjangkau surga&neraka, setan dan malaikat, hari akhir karena keterbatasan dalam empirisasi, tetapi apakah suraga dan neraka itu tidak benar?...Benar..!!, benarnya agama yang kita imani..., kita tetap percaya ada surga dan neraka ada walaupun secara ilmiah tidak terbukti...(wallahualam) Salam...